1.
MA’RIFAT
Ma’rifat
artinya pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang
diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui
Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang
dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat
& Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari
seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat)
diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati
sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang
dilihatnya hanya Allah SWT.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan
dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika
seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT.
Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah
SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya,
dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari
Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan
mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima
Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang
ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat
mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat
kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping
cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
2.
Tokoh-Tokoh Ma’rifat
a. ZUNNUN
al-MISRI
Sufi
pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN
al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang
artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya
dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya.
Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan
Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta
dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya
itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah
Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun
besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut
masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada
saudagar tersebut.
Dalam
pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh
dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan
Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan
Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M –
247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara,
saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah
dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
b. Abu
Bakar al-Kalabazi
Menurut
Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at
Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai
pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh
jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha
dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati
sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana
Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama
araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak
karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun
ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun
mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya
sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi
dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal,
tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian
Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya
ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam
menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
·
Tingkat
awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
·
Tingkat
Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan
logika dan penalaran akal.
·
Tingkat
Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang
sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada
tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan
antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif
atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah:
·
Cahaya
Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
·
Tidak
meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan
Zahirnya.
·
Banyaknya
nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar
aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq
Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa
berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk
mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa
Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan
mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan
Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat
melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah
mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain.
Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang
panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu
maqam.
Dalam pada itu
Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak
seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang
rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi
sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas.
Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang
keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung
semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun
dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal
Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal
Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya
para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874
M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham
Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan
“Manunggaling Kawulo Gusti”.
c.
Jalaluddin Rahmat
menegaskan secara tekstual bahwa al-Araf adalah
dinding antara surga dan neraka “Di dalamnya ada rahmat dan di luarnya
ada siksa” (Q.S 57 : 13) yakni disebelah dalamnya –yang terletak
berdekatan dengan surga– ada rahmat, dan disebelah luarnya dari situ ada siksa
neraka, yang terletak di dekat sisi tersebut. Di atasnya adalah meraka yang
perbuatan buruk dan baiknya seimbang pada timbangan (pengadilan) mereka,
sehingga meraka melihat ke neraka dengan satu mata mereka dan melihat ke surga
dengan mata yang lain
d.
Al-Muhasibi
juga
berbicara pula tentang Ma’rifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan
agama, dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan
pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Dalam konteks ini pula ia
menuturkan sebuah hadits Nabi yang berbunyi, “pikirkanlah makhluk-makhluk Allah
dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat
karenanya”. Berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits senada, al-Muhasibi
mengatakan bahwa Ma’rifat harus ditempuh dengan tasawuf yang berlandaskan
Assunah.
e.
menurut Harun Nasution (1919)
sebagaimana
dengan Mahabbah dan Ma’rifat,. Para sufi terdahulu menyebutkan Ma’rifat
merupakan Ahwal (keadaan), dan al-Qusyriyah menyebutkan, Ma’rifat merupakan
Maqam. Juga berlainan urutan yang diberikan kepada Ma’rifat dalam susunan yang
terdapat dalam buku-buku Tasawuf. sedangkan al-Ghazali dalam Ihya memandang
bahwa Ma’rifat datang sesudah Mahabbah, ada juga yang berpendapat bahwa
Ma’rifat dan Mahabbah datang secara beriringan dengan kata lain Ma’rifat dan
Mahabbah merupakan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara sufi dan
Tuhan.
3.
Analisis ma’rifat fersi kelompok 7
Menurut kami ma’rifat adalah
cara bagaimana kita mengenal Allah. Yaitu dengan cara menyerahkan segalanya
kepada Allah dalam segalahal. Bagi merka kehidupan duniawi sudah tidak penting
lagi. Cara pandang mereka menggunakan mata batinnya karena perasaan mereka
sangatlah peka, dapat disebut pula kalau mereka mempunyai indra keenam.
4.
Penerapan
Dalam Dunia Moderen
Dalam penerapannya ada yang cocok bagi kalangan yang
memang belum terkontaminasi oleh arus-arus teknologi, fasion,
pergaulan-pergaulan anak modern pokoknya yang menyangkut era modernitas. Tapi
bagi kaum yang sudah bergulat dengan hal-hal tersebut sangatlah tidak cocok
karena meninggalkan urusan dunianya sama dengan kalaumereka tidak hidup.
5.
Kesimpulan
Jadi kesimpulannya memang dalam era modernitas perlu
sekali pengajaran tentang ma’rifat kepada
masyarakat modern agar mereka sadar kalau akhirat juga penting bahkan lebih
penting dari dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar