BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak terjadi permasalahan di
kalangan masyarakat dan para pelajar hanya karena perbedaan golongan atau
organisasi. Yang padahal awalmula didirikan organisasi tersebut untuk menjawab
masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Tetapi setelah itu menjadi sebuah
pembatas antara masyarakat yang mempunyai faham yang berbeda.
Dilihat seeperti keadaan masyarakat
dan kaum pelajar terkotak-kotakkan oleh organaisasi yang seharusnya menjadi
solusi dari masalah sosial yang ada. Bukan untuk menjadi egois yang mementingkan
bagaimana golongannya bisa menjadi pemguasa.
Seperti kita lihat antara
perselisihan organisasi islam antara Muhammadiah, Nahdlotul Ulama’ dan Persis
yang sangat mencolok dalam keadaan masyarakat. Walaupun pada dasarnya organisasi-organisasi ini
didirikan dengan tujuan yang baik, Cuma beda pemahaman dalam mengkaji yang
sunah saja. Ini sudah menjadi alat perang masing-masing organ.
Seperti persis yang awalnya hanya dengan
terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung
yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan
kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan
semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan
cirri dan karateristik yang khas hingga
menjadi organisasi penyiar islam.
Dan Nahdlotul Ulama yang pembentukannya berawal semangat menegakkan
dan mempertahankan Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo.
Terlebih Belanda-Portugal tidak hanya menjajah nusantara, tapi juga menyebarkan
agama Kristen-katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para
misionaris-misionaris kristiani ke berbagai wilayah. NU
lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama
dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama
Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU
pimpinan Mbah Hasyim Asy’ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda
di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong
Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya.
Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.
Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah
Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang
salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH M. Yusuf Hasyim
-Pak Ud). Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik,
dikalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah
(Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran
Barus Sumatra Utara 1909, dan di kalangan orang tua Sabilillah (Jalan menuju Allah)
yang di komandoi KH. Masykur.
Dan Muhammadiah berdiri bersamaan dengan kebangkitan masyarakat
Islam Indonesia pada dekade pertama yang sampai hari ini bertahan dan membesar
yang sulit dicari persepadanannya. Jika dilihat dari amal usaha dan dan gerakan
Muhammadiyah di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya di bidang pendidikan
dan dan kesehatan, maka Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang
terbesar di Indonesia, bahkan banyak kalangan menyebutkan sebagai terbesar di
seluruh dunia. Demikian pula dalam berbagai hal yang menyangkut amal usaha dan
konseptualisasi nilai-nilai Islam secara kontekstual. Dengan usaha Muhammadiyah
yang terakhir itu, nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan oleh masyarakat
menjadi lebih dekat dan akrab dengan permasalahan kehidupan manusia
sehari-hari.
Dari masalah ini makalah ini tersusun untuk mencoba mengkaji latar
belakang masing- organisasi. Yang menjadi perselisihan masyarakat, agar lebih
mengerti dan tahu tujuan masing-masing organisasi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas bahwa organisasi islam yang seharusnya
menjadi pengumpul aspirasi masyarakat berubah menjadi pembeda dan
persengketaan. Maka perlu dikaji bagaimana awalmula organisasi kususnya Persis,
Muhammadiah dan NU didirikan oleh masing-masing tokohnya.
C.
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini untuk tugas UTS yang di berikan dosen.
Untuk mengetahui latar belakang awal mula pembentukan organisasi islam yang
kususnya Persis, Muhammadiah dan NU didirikan oleh masing-masing tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Latar Belakang Organisasi Persis
Lahirnya Persis
Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di
kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran
akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan
semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan
cirri dan karateristik yang khas.
Menurut
tafsir Qanun asasi (1967: 7) bahwa sesungguhnya jauh sebelum tanggal 12
September 1923 (berdirinya PERSIS) telah ada suatu kelompok kajian ajaran Islam
dan ajaran yang berlaku secara faktual. Mereka menamakan kelompok penelaahnya
itu dengan nama Persatuan Islam, ada juga yang memberi nama Permufakatan
Islam. Jadi sebelum Tahun 1923 nama Persatuan Islam itu bukan nama sebuah
organisasi melainkan nama kelompok penelaah (study club) dan inilah
sebagai cikal bakal atau embrio Lembaga Dewan Hisbah.
Tokoh-tokoh
utama study club tersebut adalah KH. Zamzam dan KH. Muhammad Junus,
mereka mengadakan kenduri secara rutin bergiliran secara rutin di rumah-rumah
anggota jamaahnya, setelah mereka makan, kemudian sebagaimana biasa diadakan
pembahasan berbagai masalah agama, sampai kepada masalah aktual persoalan umat
Islam pada waktu itu, seperti polemik antara al-irsyad dengan jamiat
khair dan perpecahan Syarikat Islam (SI) antara mereka yang
mendukung Komunisme dengan yang tetap konsisten dengan keislamannya.
Majalah
terkenal yang diterbitkan oleh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridlo yakni
Al-Manar di Mesir dan Al-Munir dari Padang senantiasa mendapat tempat dalam
pengajian KH. Zamzam dan KH. M. Junus. Muhammad Abduh menulis dalam majalahnya
tentang al-islamu mahjuubun bil muslimin, Islam ditutup oleh orang Islam
itu sendiri. Tulisan tersebut menyentuh dan mewarnai cara berfikir dan cara
hidup mereka, mereka sadar bahwa pada waktu itu kaum muslimin banyak melakukan
praktek-praktek penyimpangan baik aqidah, Ibadah, maupun
muamalah, perpecahan umat Islam dan kecenderungan Belanda melarang serta
membatasi pendidikan, dakwah dan penerbitan buku yang akhirnya pemurtadan.
Persatuan
Islam terbentuk dengan dimulai oleh suatu kelompok penelaah (study club)
di Bandung yang anggota-anggotanya dengan kecintaan menelaah, mengaji serta
menguji ajaran-ajaran yang diterimanya, sedangkan pada saat itu keberadaan kaum
muslimin di Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat,
bid’ah, dan syirik, sebagaimana terdapat dalam dunia Islam lainnya yang
diperkuat oleh cengkraman kuku penjajahan kaum Nashrani Belanda melalui
penasehatnya, orientalis yang ulung dalam menggariskan politik keagamaan di
tanah air.
Para
anggota kelompok itu semakin lama mengaji dan menguji ajaran agamanya, semakin
tahu hakikat Islam yang sesungguhnya, dan merekapun menjadi sadar akan
keterbelakangan, kejumudan, pintu ijtihad tertutup bagi umat Islam, merasa
cukup dengan taqlid buta. Akhinya makin sadar pula akan kewajiban untuk
mengadakan tajdid dan pemurnian agama Islam yang dilaksanakan dalam
masyarakat, kemudian mereka masing-masing mengajarkan apa yang telah
diketahuinya di kampung halamannya, sehingga dengan demikian secara tidak resmi
maupun secara resmi, maka telah berdiri dan terbentuk pula kelompok-kelompok
penelaah, bukan hanya yang ada di Bandung, juga di berbagai tempat di
Indonesia.
Dalam
keadaan demikian Persatuan Islam telah terbentuk dengan hubungan horizontal
(mendatar) tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau suatu nidzam
jami’yyah yang pasti, oleh karena itu, agar perjuangan serta jihad yang
telah dilakukan oleh tiap-tiap kelompok itu lebih berkemampuan lagi, maka
didirikanlah dengan resmi sebuah organisasi yang mempunyai hubungan vertikal
(atas bawah) dengan suatu nizham yang pasti dan disusun bersama-sama
sebagai pengambil inisiatip berdirinya jamiyah Persatuan Islam tercatat tokoh
yang bernama KH. Zamzam dan KH. Muhammad Junus (tafsir Qanun Asasi 1968: 8,
1983: 6). Mereka menamakan Persatuan Islam itu adalah supaya umat Islam bersatu
memegang Quran dan Sunah, bersatu seragam mulai dari aqidah, ibadah
sampai dengan muamalah berpegang pada tali Allah yakni Al-Quran dan
al-Hadits. Dan bukan jamaah yang mencampur adukan Sunnah dan Bid’ah, hak dan
bathil (Eman Sar’an, 1964: 9). Dengan demikian Study Club itu melahirkan
jam’iyyah Persatuan Islam dan kemudian
jam’iyyah membentuk Majelis Fatwa.
PERSIS
Berdiri pada awal 1920-an, tepatnya hari Rabu, 1 Shafar 1342 H (12 September
1923 M) di Bandung oleh sekelompok orang
yang berminat dalam study dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji
Zamzam, seorang Alumnus Dar-Ulum Mekkah dan haji Muhammad Yunus, seorang
pedagang sukses yang sama-sama kelahiran Palembang. Nama Persatuan Islam itu
diberikan untuk mengarahkan jihad dan ijtihad serta upaya segenap potensi,
tenaga, usaha dan pikiran guna mencapai
harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak organisasi: persatuan
pemikiran islam, persatuan rasa islam, persatuan usaha islam, dan persatuan
suara islam. Bertitik tolak dari pemikiran, rasa, usaha dan suara islam itu,
jam’iyyah atau organisasi itu dinamakan persatuan islam. Penamaan ini diilhani
oleh firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 103 : “Berpegang teguhlah kamu
sekalian pada tali (undang-undang atau aturan) Allah seluruhnya dan janganlah
kamu bercerai berai” dan Hadits yang diriwayatkan oleh TIrmidzi bahwa
“kekuasaan Allah itu ada pada Jama’ah.” Firamn Allah dan hadits tersebut
menjadi motto PERSIS dan menjadi lambing PERSIS dalam lingkaran bintang
bersudut dua belas buah yang di bagian tengahnya tertera tulisan Persatuan
Islam, ditulis dengan memakai hurup arab Melayu.
Pada
awal PERSIS berdiri, orang-orang yang tergabung dalam Jam’iyyah itu melihat
realitas empiric bahwa masyarakat muslim Indonesia, khususnya di bandung yang
menjadi tempat lahirnya organisasi ini, banyak melakukan praktek penyimpangan
dalam praktek keagamaannya, baik akidah maupun ibadah. Kaum muslim di Indonesia
tenggelam dalam biusan taqlid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, serta syirik.
Karena itu, mereka merasa terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah Allah
untuk mengangkat Umat dari jurang kemadegan berfikir dan ketertutupan pintu
ijtihad . Persis memiliki cirri khas tersendiri, yakni kegiatannya dititik
beratkan pada paham keagaman.
Sebagai
organisasi perjuangan yang bertujuan menyusun dan membentuk masyarakat yang
didalamnya berlaku ajaran dan hokum Islam, PERSIS mempunyai pandangan dan
analisis dan perjuangan yang sesuai dengan dasar keyakinannya. Selama zaman
colonial belanda (sejak awal berdirinya), Persis menitik beratkan perjuangannya
pada penyebaran dan penyiaran paham aliran Al-Qur’an Sunnah kepada masyarakat
kaum muslimin, buka untuk memperbesar atau memperluas jumlah anggota dalam
organisasi. Secara Umum. PERSIS kurang memberi tekanan pada kegiatan organisasi
sehingga tidak berminat untuk membentuk banayk cabang atau menambah sebayak
mungkin anggota. Pembentukan cabang hanya dilakukan jika ada inisiatif dari
peminat dan tidak didasarkan pada rencana yang dilakukan oleh pimpinan pusat. Menurut
Deliar Noer, pengaruh dari organisasi PERSIS ini jauh lebih besar daripada
jumlah cabang atau anggotanya. Popularitas PERSIS ini menonjol terlebih setelah
mendapat dukungan dan partisipasi dari dua tokoh penting di PERSIS, yaitu Ahmad
Hassan, yang dianggap sebagai guru Utama PERSIS pada masa sebelum perang, dan
Mohammad Natsir yang pada masa itu yang berkembang dan tampaknya bertindak
sebagai juru bicara organisasi bagi kalangan kaum terpelajar.
A.
Hassan kelahiran Singapura pada 1987 dari ayah Tamil dan Ibu Jawa, bergabung
dalam kegiatan diskusi PERSIS pada 1924. Ia orang yang cerdas dan lancer
berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil. Ia juga menguasai pengetahuan Agama
dan Umum yang sangat Luas. Ia pernah berkunjung dari singapura ke Surabaya pada
tahun 1920 dalam hubungan dagang batik keluarganya. Di sana, ia mulai terlibat
diskusi-diskusi agama dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar
pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, modernis sehingga dapat dimengerti
jika A, Hassan pindah ke bandung masuk lingkaran PERSIS. Ia memusatkan kegiatan
hidupanya dalam pengembangan pemikiran
Islam dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Ke-Khasan
Persis dalam penyebaran Paham keagamaan dengan Umat, selain dalam bentuk
tulisan di majalah yang diterbitkannya sendiri, selain dalam bentuk tulisandi
majalah yang diterbitkannya sendiri, juga dalam bentuk dakwah lisan, kelompok
study, perdebatan, tabligh dan khotbah-khotbah yang dianggap orang sebagai
berani, keras, tegas, lugas tetapi jelas terkadang menimbulkan kesan kebencian.
Ini terbukti ketika PERSIS menjelma menjadi organisasi paling ekstrim, liberal
dan radikal dalam melakukan pertentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap
sebagai ajaran agama padahal bid’ah, khurafat dan takhayul.
Alam
pemikiran gaya Khas keras seperti itu semakin menemukan bentuknya ketika Ahmad
Hassan memperkenalkan pendapatnya tentang beragama yang benar, yaitu hubungan
manusia dengan tuhan, bergantung pada benar tidaknya seorang memahami dan
melaksanakan hokum Islam. Ahmad Hassan mengemukakan bahwa :
“Kehidupan
seorang Islam tidak dapat dipisahkan dari ketentuan-ketentuan hokum Islam
sebagai Konsekwensi logis dari penyerahan dirinya kepada tuhan. Manusia sebagai
‘abid (hamba) harus melaksanakan ibadah (ta’at) sepenuhnya kepada Allah, sang
khaliq (pencipta), sekaligus ma’bfd (yang dipertuan )”, atau sebagai sumber
kekuasaan. Untuk itu, setiap orang harus membersihkan dirinya dari kepercayaan
dan tradisi yang tidak diperintahkan oleh orang islam.
Betapapun
besarnya seorang Ulama atau imam, ia tidak lebih dari seorang guru yang dapat
mengajarkan ilmu-ilmunya kepada masyarakat. Setiap anggota masyarakat memilki
kebebasan untuk memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti
pendapatnya. Karena itu, A. Hassan tidak membenarkan adanya madzhab. Pendapat
empat madzhab yang terkenal itu pun bias salah jika ternyata tidak sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Secara
Umum hidup ini berdasarkan Qodho dan Qadar Allah. Seorang muslim tidak boleh
mempercayai hari naas dan sebagainya karena kepercayaan ini mengurangi
keimanannya kepada Allah swt. Bahkan, ia telah menjadi musyrik, dosa besar
dalam Islam.
Prinsip-prinsip
perjuangan kembali kepada ajaran Quran Sunnah, yang sudah menjadi visi dan
trademark PERSIS, secara kongkret telah tercantum dalam Qanun Asasi (anggaran
dasar) dan Qanun Dakhili (Anggaran rumah tangga) PERSIS seperti yang dirumuskan
dalam rencana Jihad pada Qanun Asasi PERSIS 1957 BAB II pasal 1 tentang rencana
Jihad Umum.
1.
Mengembalikan kaum muslim kepada pimpinan
Al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Menghidupkan ruhul jihad diantara kalangan umat
islam.
3.
Membasmi bid’ah, khurafat, takhayul dan syirik,
dalam kalangan umat islam.
4.
Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah
islamiyyah kepada segenap lapangan masyarakat.
5.
Menmgadakan, memlihara dan memakmurkan masjid,
suarau dan langgar serta tempat ibadah lainnya untuk memimpin peribadatan umat
islam menurut sunnah nabi yang sebenarnya menuju takwa.
6.
Mendirikan pesantren atau madrasah untuk
mendidik putra-putri Islam dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah.
7.
Menerbitkan kitab, buku, majalah dan
siaran-siaran lainnya guna mempertinggi kecerdasan kaum muslim dalam segala
lapangan ilmu.
8.
Mengadakan dan memelikhara hubungan baiak
dengan segenap organisasi dan gerakan Islam di Indonesia seluruh dunia Islam,
menuju terwujudnya persatuan alam Islami.
Rencana
jihad Persis secara khusus, dirumuskan dalam baba II pasal 2 Qanun Asasi,
sebagai berikut :
1)
Membentuk Hawariyyun Islam yang terdiri dari
mubalighin dan mubalighat dengan jalan mempertajam serta memperdalam pengertian
mereka dalam so’al-so’al ajaran Islam.
2)
Mendidik dan membentuk warga Anggota PERSIS
supaya menjadi Uswatun hasanah bagi masyarakat sekelilingnya, baik dalam
lapangan aqidah dan ibadah maupun dalam mu’amalah.
3)
Mengadakan tantangan dan perlawanan dan
perlawanan terhadap aliran yang mengancam hidup keagamaan pada umumnya dan
hidup keislaman pada khususnya, seperti paham materialism, atheism dan komunisme.
4)
Melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar dalam
segala ruang dan waktu dan melawan golongan musuh-musuh islam dengan cara
sepadan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Pada
Qonun asasi produk muktamar 2000 Jakarta, misi PERSIS yang bertujuan “Terlaksananya
Syari’at Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara Kaffah dalam segala
Aspek kehidupan” dijabarkan lebih sipum pada pasal 5, rencana jihad
sebagai berikut :
1. Mengembangkan dan memberdayakan potensi
Jam’iyyah demi terwujudnya Jam’iyyah sebagai Shuratun Mushaghgharatun ani islam
wa hikmatu Al-Asma.
2. Meningkatkan pemahaman dan pengalaman keislaman
bagi anggota khususnya dan umat islam pada umumnya sehingga tercipta barisan
Ulama, zu’ama, ashabun dan Hawariyun Islam yang senantiasa iltizam terhadap
risalah Allah.
3.Meningkatkan
kesadaran dan pemberdayaan anggota khususnya dan umat islam pada umumnya
sehingga tercipta barisan ulama dalam bermuamalat secara jama’I dalam setiap
aspek kehidupan.
2.
Latar belakang
Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiayh sebagai upaya penyempurnaan pemikiran beliau dalam melaksanakan
Islam dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Sebelum resmi menjadi
organisasi, embrio Muhammadiayah merupakan gerakan atau bentuk kegiatan dalam
rangka melaksanakan agama Islam secara bersama-sama. Perkumpulan ini
diprakarsai oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan bermula di kampung kauman.
Dengan didirikan di Kauman memberikan kesan bahwa Kiyai Haji Ahmad Dahlan sangat memperhatikan lingkungannya. Mungkin dijiwai oleh ayat Alquran yang berbunyi: Quu anfusakum wa ahlikum naara, yang artinya “ Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Gerakan yang digetarkan oleh motivasi seperti itulah yang nantinya barhak mempunyai landasan dan akar yang kuat.
Dengan didirikan di Kauman memberikan kesan bahwa Kiyai Haji Ahmad Dahlan sangat memperhatikan lingkungannya. Mungkin dijiwai oleh ayat Alquran yang berbunyi: Quu anfusakum wa ahlikum naara, yang artinya “ Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Gerakan yang digetarkan oleh motivasi seperti itulah yang nantinya barhak mempunyai landasan dan akar yang kuat.
Dalam gerakannya itu beliau dibantu
oleh sahabat-sahabatnya. Ini membuktikan bahwa untuk melaksanakan Islam tidak
bisa sendirian, tetapi harus bersama-sama dengan yang lain. Karenanya
belakangan KH Ahmad Dahlan memilih orang-orang yang sepaham, yang juga
mempunyai pikiran jangka jauh. Sebanya karena gerakan ini tidak cukup hanya
untuk satu-dua tahun saja, melainkan untuk terus menerus. Untuk itulah diangkat
beberpa orang murid (santri).
Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah
1330 (bertepatan tanggal 18 november 1912) Muhammadiyah diresmikan menjadi
organisasi persyarikatan dan berkedudukan di Yogyakarta yang dipimpin langsung
oleh KH. Ahmad dahlan. Jadi organisasi yang didirikannya merupakan penyempurnaan
dari pelaksanaan gerakan yang telah dilakukan sebelumnya.
Faktor-faktor yang Melatarbelakangi
Lahirnya Muhammadiyah
Terdapat cukup banyak penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, kalau penjelasan-penjelasan ini diasumsikan sebagai teori, maka Djindar Tamimi berpendapat bahwa faktor-faktor subjektif dan objektif adalah mendorong berdirinya Muhammdiyah. Faktor subjektif berkenaan dengan pribadi Ahmad dahlan sendiri. Sedangkan faktor objektif dibedakan atas dua macam, yaitu intern dan ekstern. Teori lain yang hanya mempertimbangkan aspek realitas sosial yang mendorong lahirnya Muhammadiyah yaitu hanya ada dua faktor, internal dan eksternal. Faktor Internal berkenaan dengan kondisi keberagamaan umat Islam di Jawa, sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya pengaruh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah dan politik Islam-Belanda tarhadap kaum muslimin di Indonesia.
Terdapat cukup banyak penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, kalau penjelasan-penjelasan ini diasumsikan sebagai teori, maka Djindar Tamimi berpendapat bahwa faktor-faktor subjektif dan objektif adalah mendorong berdirinya Muhammdiyah. Faktor subjektif berkenaan dengan pribadi Ahmad dahlan sendiri. Sedangkan faktor objektif dibedakan atas dua macam, yaitu intern dan ekstern. Teori lain yang hanya mempertimbangkan aspek realitas sosial yang mendorong lahirnya Muhammadiyah yaitu hanya ada dua faktor, internal dan eksternal. Faktor Internal berkenaan dengan kondisi keberagamaan umat Islam di Jawa, sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya pengaruh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah dan politik Islam-Belanda tarhadap kaum muslimin di Indonesia.
Selain itu, terdapat teori lain yang
mengatakan bahwa telaah mengenai latar belakang berdirinya Muhammadiyah
berhubungan dengan masalah yang saling terkait, yaitu aspirasi Islam ahamd
Dahlan, realitas sosio-agama di Indonesia, realitas sosio-pendidikan di
Indonesia dan relitas politik Islam Hindia-Belanda.
Dan selanjutnya adalah teori yang
mengatakan ada tiga faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, yaitu
gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah, Pertentangan internal dalam masyarakat
jawa dan yang paling penting adalah penetrasi misi Kristen di Indonesia. Faktor
yang terkhir dianggap yang paling menentukan dilihat dari berbagai kebijakan
politik pemerintah kolonial terhadap Islam dan proteksinya terhadap Nasrani,
misalnya adalah ordonansi guru, pelanggaran-pelanggarannya terhadap kebudayaan
lokal dan pembentukan freemasonry.
Berikut pembahasan yang lebih rinci
tentang beberapa teori mengenai latar belakang lahirnya Muhammadiayah. Teori
yang dikemukakan oleh Djindar Tamimy
Faktor yang mendorong berdirinya Muhammdiyah ada dua, yaitu:
Faktor yang mendorong berdirinya Muhammdiyah ada dua, yaitu:
Bersifat subyek, ialah pelakunya
sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral, sedangkan faktor yang lain hanya
menjadi penunjang saja. Yang dimaksudkan disini ialah, kalau mau mendirikan
Muhammadiyahmaka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidaka, maka Muhammadiyah
bisa dibawa kemana saja. Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan
Kiyai Haji ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Ia dilahirka tahun
1868 dan wafat tahun 1923 m, dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta
hayat yang dikecap selama 55 tahun, berarti meninggal dalam usia relative muda.
Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh
orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya.
Ini menunjukkan rasa keagaman KH Ahamad Dahlan tidak hanya berdasarkan naluri,
melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.Dikala mudanya,
beliau terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan bebas serta memiliki akal budi
yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara
selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam
perenungan-perenungan dan ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah
yang menentukan Ahamd Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya
Muhammadiyah.
Namun faham dan keyakinan agamanya
barulah menemukan wujud dan bentuknya yang mantap sesudah menunaikan ibadah
hajinya yang kedua (1902 M) dan sempat bermukuim beberapa tahun di tanah suci.
Waktu itu beliau sudah mampu dan berkesempatan membaca ataupun mengkaji
kitab-kitab yang disusun oleh alaim ulama yang mempunyai aliran hendak kembali
kepada al-Quran dan As- Sunnah dengan menggunakan akal yang cerdas dan bebas.
Faham dan keyakinan agama yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman
agamanya inilah yang mendorong kelahiran Muhammadiyah.
Dan Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang
bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.
Beliau
adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai
pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku
dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya
untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan
Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan
dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula
ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat
sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke
luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan
kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping
memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi
pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul
Muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan.
Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping
memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak,
beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau
telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge
School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi
Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri
perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi
Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama ‘Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama ‘Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH
A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke
11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
3.
Latar Belakang NU (Nahdlotul Ulama)
Sebagai “kebangkitan kaum ulama”,
Nahdlatul Ulama berdiri untuk mempertahankan kehidupan keagamaan berdasarkan
empat mazhab, tapi juga untuk membendung sikap kaku kaum Wahabi.
Begitu Perang Dunia I berakhir pada
1918, Kesultanan Turki Usmani di Turki guncang. Sementara kekuasaan sultan yang
meneruskan tradisi kekhalifahan Islam di seluruh dunia mulai dipersoalkan oleh
kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Akhirnya, pada
1922, Majelis Rakyat Turki menghapus kekuasaan Sultan Abdul Majid dan
menjadikan Turki sebagai republik. Dan dua tahun kemudian Majelis menghapuskan
lembaga khilafat.
Perkembangan politik di Turki
tersebut ternyata cukup bikin bingung dunia Islam. Ada di antara para pemimpin
Islam yang kemudian mulai berpikir untuk membentuk khilafat baru. Termasuk kaum
muslimin Indonesia, yang merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Saat itu, pada 1924, kebetulan Mesir sedang mempersiapkan
sebuah muktamar tentang masalah khilafat tersebut.
Untuk mengantisipasi
diselenggarakannya kongres tersebut, pada 4 Oktober 1924 sejumlah ormas Islam
membentuk Komite Khilafat di Surabaya. Komite itu diketuai oleh Wondoamiseno
(Sarekat Islam), dengan K.H.A. Wahab Chasbullah (kalangan pesantren) sebagai wakil.
Dalam Kongres Al-Islam III di Surabaya, Desember 1924, antara lain diputuskan
untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat di Kairo, yang beranggotakan
Suryopranoto (Sarekat Islam), A.R. Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Wahab
Chasbullah (pesantren).
Ternyata Kongres Khilafat di Kairo
ditunda, karena perhatian umat Islam seluruh dunia tertuju pada perkembangan di
Hijaz (kini Arab Saudi) ketika Ibnu Saud yang kemudian menjadi raja mengambil
alih kekuasaan Syarif Husein. Berkolaborasi dengan para ulama Wahabi,
pemerintahan baru di Hijaz mulai melakukan pembersihan terhadap praktik
beragama yang dianggap tak sesuai dengan paham Wahabi, paham yang menganggap
praktik-praktik kaum tradisionalis yang tidak tertera dalam Al-Quran dan hadis
adalah bid’ah (lihat Kisah Utama Alkisah No. 16/2005). Di Indonesia, gerakan
Wahabi itu di satu pihak mendapat sambutan baik dari kalangan Islam modernis,
tapi di lain pihak ditolak oleh kalangan kiai dan pesantren.
Pada 21-27 Agustus 1925, digelar
Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta. Salah satu agendanya ialah membahas undangan
Raja Ibnu Saud kepada umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam
se-Dunia di Makkah. Undangan itu juga dibahas dalam Kongres Al-Islam V di
Bandung, 5 Februari 1926. Dalam kedua kongres tersebut, kaum muslim modernis,
seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, sangat mendominasi.
Bahkan sebelumnya, 8-10 Januari
1926, mereka juga sudah menggelar pertemuan tersendiri. Dalam pertemuan
tersebut diputuskan mengirim H.O.S. Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas
Mansur (Muhammadiyah) untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah.
Keputusan itu kemudian diperkuat dalam Kongres Al-Islam V di Bandung.
K.H.A. Wahab Chasbullah, yang
mewakili komunitas kiai dan pesantren, seperti tersingkir dari arena kongres.
Beberapa usul yang ia ajukan berdasarkan aspirasi kaum tradisionalis tidak
mendapat tanggapan. Begitu pula saran agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi
keislaman sebagaimana tercantum dalam kitab Dalailul Khayrat, sepertinya tidak
digubris.
Akhirnya, Kiai Wahab dan tiga
santrinya meninggalkan arena kongres. Mereka lalu menyelenggarakan pertemuan
dengan para ulama di Surabaya. Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, Kiai
Wahab tak jemu-jemunya menyodorkan gagasan perlunya membangun sebuah jam’iyah
(perkumpulan) kepada para ulama, termasuk kepada gurunya, K.H. Hasjim Asj’ari.
Namun, Kiai Hasjim tidak serta merta menerima dan merestui ide tersebut,
sebelum melakukan shalat Istikharah selama beberapa bulan.
Dalam pada itu diam-diam Kiai Cholil
dari Bangkalan mengamati perkembangan tersebut. Kiai Cholil adalah guru Kiai
Hasjim dan Kiai Wahab. Suatu hari ia memanggil seorang santri yang juga masih
cucunya, As’ad Syamsul Arifin, yang ketika itu baru berusia 27 tahun. “Saat ini
Kiai Hasjim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata
Kiai Cholil sambil menyerahkan sebatang tongkat. “Baik, Kiai,” jawab As’ad,
yang kelak juga menjadi ulama besar.
Lalu Kiai Cholil berpesan kepada
cucunya itu, “Bacakanlah ayat-ayat ini kepada Kiai Hasjim: Wama tilka
biyaminika ya Musa. Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa ahusysyu biha ‘ala
ghanami awliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya Musa. Faalqaha faidza hiya
hayyatun tas’a. Qala khudzha wala takhaf sanu’iduhi siratahal ula. Wadhmum
yadaka ila janahika tahruj baidha’a min ghairi su’in ayatan ukhra. Linuriyaka
min ayatinal kubra.” (QS 20: 17-23). Ayat-ayat tersebut mengungkapkan kualitas
kepemimpinan Nabi Musa.
Artinya, “Apakah yang di tangan kananmu, hai Musa?” Jawab
Musa, “Ini tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul untuk kambingku,
dan ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu!”
Lalu dilemparkannyalah tongkat itu. Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang
merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut. Kami
akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Kepitkanlah tangan ke ketiakmu,
niscaya ia menjadi putih cemerlang tanpa cacat sebagai mu’jizat, untuk Kami
perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat
besar.”
Maka As’ad pun segera menuju ke
Pesantren Tebuireng, kediaman Kiai Hasjim. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil
untuk menyerahkan tongkat ini kepada Kiai,” kata As’ad sambil mengulurkan
sebatang tongkat. Kiai Hasjim menerimanya dengan penuh khidmat. “Ada lagi yang
hendak engkau sampaikan?” tanya Kiai Hasjim.
“Ada, Kiai,” jawab As’ad, kemudian
membacakan ayat-ayat yang disampaikan oleh Kiai Cholil. Mendengar ayat-ayat
itu, hati Kiai Hasjim tergetar. Matanya menerawang, mengenang wajah Kiai Cholil
yang tua dan bijak. Ia menangkap isyarat, gurunya itu tidak keberatan jika ia
dan teman-temannya mendirikan sebuah jam’iyah.
Sejak itu, keinginan untuk
mendirikan jam’iyah semakin matang. Beberapa tahun kemudian, pemuda As’ad
muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyampaikan tasbih
ini,” katanya. “Kiai juga diminta mengamalkan doa Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap
saat,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya itu diterima oleh Kiai Hasjim
dengan penuh khidmat. Dan kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan sebuah
jam’iyah.
Setahun kemudian, 31 Januari 1926
atau 16 Rajab 1344 H, dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di Surabaya,
yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi
gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Pertemuan
bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh,
seperti K.H. Hasjim Asj’ari, K.H. Bisri Sansuri (keduanya dari Jombang), K.H.
Ridlwan Abdullah (Surabaya), K.H. Asnawi (Kudus), K.H. Ma’sum (Lasem), K.H.
Nawawi (Pasuruan), K.H. Nahrowi (Malang), K.H. Alwi Abdul Aziz (Surabaya), dan
lain-lain.
Pertemuan tersebut antara lain memutuskan,
mengirim delegasi yang terdiri dari K.H. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad
Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus
menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud
menghormati ajaran mazhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan
ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan
menghormati ajaran empat mazhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Pertemuan para ulama di Surabaya itu
juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam
memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan
kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum
ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham
Ahlusunnah wal Jama’ah. Pertemuan tersebut sebenarnya juga merupakan reaksi
terhadap policy pemerintah Hindia Belanda yang membatasi umat Islam menunaikan
ibadah haji.
Hal itu juga didasarkan pada
pengalaman dakwah Walisanga, yang secara cerdas dan kreatif mengislamkan
Nusantara tanpa gejolak – yang membedakan Nahdlatul Ulama dengan gerakan Islam
modernis. Pada awal berdirinya, NU belum menetapkan anggaran dasar. Baru pada
muktamar 1928, organisasi ini menetapkan anggaran dasar untuk mendapatkan
pengakuan pemerintah Hindia Belanda. Belakangan, Nahdlatul Ulama menetapkan
anutannya terhadap empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) demi
kemaslahatan umat. Artinya, NU tampil sebagai pengawal kesinambungan tradisi
dan ajaran empat mazhab dan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Nahdlatul Ulama berusaha
mempertahankan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat atau hadis dari
“kecerobohan” penafsiran kaum muda yang mempertanyakan ajaran Islam – yang
telah ditafsirkan para ulama salaf saleh (salafus shalih) – yang mereka pandang
sudah mapan. Namun itu tidak berarti NU alergi terhadap pembaruan atau
modernisme. Beberapa pemikiran Islam modernis juga diserap oleh Nahdlatul
Ulama, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum. Secara
perlahan-lahan, madrasah NU juga mengajarkan ilmu umum, di samping pelajaran
agama.
Ketika Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia) – sebuah federasi longgar dari semua partai dan ormas Islam
– terbentuk pada November 1945, NU dan Muhammadiyah menjadi dua pilar utamanya.
Namun, menjelang pemilu pertama tahun 1955, NU keluar dari Masyumi dan
mendeklarasikan diri sebagai partai Islam. Hasilnya mengejutkan, partai baru
itu muncul sebagai pemenang ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan
Masyumi.
Di awal Orde Baru tahun 1967, semua
partai Islam, termasuk NU, dipaksa oleh pemerintah Soeharto untuk berfusi dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Merasa selalu tersingkirkan, terutama
karena dominasi peran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang boleh dikata merupakan jelmaan Masyumi –
maka dalam muktamar di Situbondo, Jawa Timur (1984), NU mundur dari PPP, bahkan
kemudian menyatakan “kembali ke khitah 1926” alias tidak berpolitik.
Itu tak berarti NU tak berpolitik
sama sekali. Sebab, “kembali ke khitah 1926” berarti juga konsolidasi
besar-besaran – yang tiada lain juga merupakan langkah politik strategis.
Keputusan yang sangat tepat itu belakangan ternyata klop dengan suasana politik
paska reformasi tahun 1998 ketika demokrasi mulai mekar. Ketika itulah NU
membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan dalam pemilu yang cukup
demokrasi, 7 Juni 1999, PKB berhasil leading debagai “lima besar.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Darir tiga organisasi yang sebagai contoh diatas walaupun
latar belakangnya tidak sama tetapi, sama-sama untuk memperjuangkan islam agar
menjadi yang lebih baik.
Secara garis besar persis yang awal
mulanya hanyalah perkumpulan jamiah Al-Qur’an. Hingga terbentuk kesadaran untuk
mensiarkan agama islam maka mereka membentuk suatu gerakan da’wah islamiyah.
Dari muhammadiayah pun juga KH.Ahmad
dahlan yang sepulangnya menimba ilmu dari timur tengah melihat. Terjadi kejanggalan
pada warga keraton jogja maka ia mencoba membuat penyadaran dengan mencari kawan
yang memiliki faham yang sama. Terutama santrinya, maka dia mendirikan Muhammadiyah
sebagai organisasi syariat islam. Untuk penyadaran masyarakat.
Dan dari NU juga terbentuknya untuk
menjaga 4 madzab yang sebagai aswaja. Hingga membuat partai-partai politik
didalamnya. Dalam penyampaian aswaja organisasi ini selain berkecimpung dalam
masyarakat juga ingin menjadi pemimpin Negara.
Hanya
ini yang dapat saya simpulkan apabila ada kurangnya. Saya mohon saran dan
kritiknya. Semogabermanfaat pada sayakususnya dan juga pada para pembaca
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan, Ijma, Qiyas, Madzhab, Taqlid. LP3EB,
Bangil, 1984.
________, Soal Jawab tentang berbagai masalah
Agama. Diponegoro, Bandung. 1980.
________, Pengajaran Shalat, Bandung : CV.
Dipenogoro, 1990 M.
________, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung :
CV. Dipenogoro, 1989 M.
Ahmad ibnu Syu’aib Abu Abdirrahman an-Nasaiy,
as-Sunan an-Nasaiy, Beirut: Dar Maktabat al-‘Iliyyat, Cet. I 1411 H / 1991 M.
Al-‘Allamat Khalil Ahmad as-Saharnafuri, Badzl
al-Majhud Syarh Sunan Abu Dawud, Dar al-Bayn, 1908 H / 1988 M.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy,
Maktabat Dar al-Baz, 1414 H/ 1994 M.
____________________________, Tahdzib
at-Tahdzib, Beirut: Dar Sadir, 1325 H.
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnat, Beirut: Dar
al-Fikr, 1397 H / 1977 M.
As-Shiddieqi, Prof. Dr. Hasbi, Pokok-pokok
sebab-sebab perbedaan faham fukoha dalam menetapkan hukum syara, Romdon, Solo.
1992.
Badri Khaeruman, Islam Ideologis (Persfektif
Pemikiran dan Peran Pembaruan Persis), PT. Rakasta Samsta: Jakarta, 2005.
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis
(1923-1983), Gema Syahida. Bandung, 1995.
Dewan Hisbah PP. Persis, Risalah Shalat.
Risalah Press: Bandung, 2005.
Jalalluddin as-Suyuthiy, Syarh Sunan
an-Nasa’iy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1412 H / 1992 M.
K.H.A Ghazali, Sosok dan Pemikiran KH.E.
Abdurrahman, Makalah pada seminar sehari perjuangan KH.E. Abdurrahman, Bandung,
20 Juli 1997.
Majalah Risalah No. 4 Tahun II, Oktober 1963
Muhammad ibnu ‘Abdillah Abu ‘Abdillah
an-Naisaburiy al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Beirut : Dar Maktabat
al-‘Ilmiyyat, Cet. I 1411 H/1990 M.
Muhammad ibnu ‘Aliy ibnu Muhammad asy-Syaukani,
Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Makkah: Dar al-Baz, t.th.
Muhammad ibnu ‘Utsman Abu Abdillah
adz-Dzahabiy, Mizan al-I’tidal, Beirut : Dar al-Ma’rifat, t.th.
Muhammad ibnu Isa Abu Isa at-Tirmidziy, Sunan
at-Tirmidziy, Dar Ihya, t.th.
Muslim ibnu al-Hajjaj Abu al-Husain
al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Shahih Muslim, Beirut: Daru Ihya’ at-Tirats
al-‘Arabiy, t.th.
Shiddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjamaah,
Tafakur: Bandung, 2005.
Sulaiman ibnu Ahmad ibnu Ayyub Abu al-Qasim
ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Ausath, Kairo: Dar al-Haramain, 1415 H.
Syaikh al-islam ar-Raziy, al-Jarh wa at-Ta’dil,
Beirut : Dar al-Fikr, 1905 H / 1958 M.
UA. Saefuddin, Fiqhud Da’wah KH.E. Abdurrahman,
TB. Al-Huda, Bandung, 1996.
KH. Utsman Shalibuddin, Metodologi Pengambilan
Keputusan Hukum Islam Dewan Hisbah. Makalah disampaikan pada seminar hukum
Islam pada Fakultas Syari’ah. Bandung. 1998.
Kamiluddin, uyun. 2006, “MENYOROT IJTIHAD
PERSIS” Bandung : Kelompok Humaniora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar