TUGAS MAKALAH
AKHLAK TASAWUF
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akhlak Tasawuf
Dosen
Pembimbing:
Nurul Yaqien,
M.Pd
Disusun oleh:
Kelompok 7
Muhammad Anis
Yahya (10110263)
Hasbi Zakiya
Ruhma (10110265)
Muthalibin
(10110264)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridhonya saya bias menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “AKHLAK TASAWUF”. meskipun di dalamnya terdapat kekurangan
karena memang kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari zaman kebodohan
menuju zaman yang tahu akan pengetahuan seperti sekarang.
Dan tak lupa ucapan terima kasih penulis haturkan kepada
orang tua yang selalu mendukung dan memberikan dorongan dalam berbagai bentuk
dan kepada Nurul Yaqien,
M.Pd yang telah banyak cara termasuk dengan pembuatan makalah
ini sehingga penulis mengerti akan banyak ilmu.
Saya menyadari bahwa selaku mahasiswa saya masih memiliki
kemampuan yang masih sangat terbatas. Untuk itu saya mohon maaf apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat ketidak sempurnaan. Untuk terakhir kalinya
semoga dengan adanya makalah yang cukup sederhana ini dapat kita ambil
manfaatnya. Amin..
Malang, 23 Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I MAHABBAH
A.
PENNGERTIAN
MAHABBAH
B.
TOKOH-TOKOH
MAHABBAH
C.
ANALISA KELOMPOK
7
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
E.
KESIMPULAN
BAB II MA’RIFAT
A.
PENNGERTIAN
MA’RIFAT
B.
TOKOH-TOKOH
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
E.
KESIMPULAN
BAB III AL-FANA’ DAN AL-BAQA’
A.
PENNGERTIANAL-FANA
AL-BAQA
B.
TOKOH-TOKOHAL-FANA
AL-BAQA
C.
ANALISA KELOMPOK
7
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
E.
KESIMPULAN
BAB IV AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
A.
PENNGERTIANAL-ITTIHAD
DAN AL-HULUL
B.
TOKOH-TOKOHAL-ITTIHAD
DAN AL-HULUL
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
E.
KESIMPULAN
BAB V WAHDATUL AL-WUJUD.
A.
PENNGERTIANWAHDATUL
AL-WUJUD
B.
TOKOH-TOKOHWAHDATUL
AL-WUJUD
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
E.
KESIMPULANWAHDATUL
AL-WUJUD
BAB VI TORIQAH QODARIAH DAN
NASKABANDIYAH
A.
PENNGERTIANTORIQAH
QODARIAH DAN NASKABANDIYAH
B.
TOKOH-TOKOH
TARIQAH QODARIAH
C.
TOKOH-TOKOH
TARIQAH NASKABANDIYAH
D.
ANALISA
KELOMPOK 7
E.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
F. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
MAHABBAH
A.
PENGERTIAN
MAHABBAH
Mahabbah
menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf,
mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan
membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya
kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Kaum
Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt,
untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi. Konsep al-hub (cinta) pertama
kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H -
185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari
tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih
sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang
suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut
Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah
kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah,
menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT.
Cinta
Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak
seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang
dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu
kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan
? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang
kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah
dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi
Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada
makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya
kepada Allah SWT.
B. TOKOH-TOKOH MAHABBAH
1. Imam al Qusyairi
Adalah pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta
(mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus
kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak
diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi dinamakan
Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan
murka(ghadlab). Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan
definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai
salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak,
tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung
tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta
diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan,
alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah
mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih
cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan
metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.
2.
Al Junaidi Al Baghdadi
Menyebutkan, mahabbah
itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada
Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.
3.
Abu Nasr as Sarraj at-Tusi
Adalah seorang tokoh sufi
terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu
orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang
siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang
kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat
menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang
memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup
menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu
dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang
telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini,
yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada
akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta
pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat
berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
Menurut
kami, memandang dari konsep ajaran mahabbah, yang mengajarkan tentang bagai
mana cara seorang hamba menyayangi samg kholiq, menjalankan perintahnya dan menjauhi
larangannya. Adalah modal awal untuk kita agar bisa dekat dan menjadi kekasih
Allah atau yang biasa di sebut dengan seorang sufi.
Tapi
sebagian dari mereka juga sangatlah berlebihan sampai semuanya ada pada dirinya
adalah milik Allah, dirinya tidaklah punya hak terhadap apasaja tentang diri
sendiri. Sampai menikah itu harus izin dulu kepada Allah. Kalau dilogikakan
tentang jodoh, kaya, miskin, dan maut sudah ditetapkan oleh Allah, dan kita
tidak bisa merubahnya kita hanya bisa berusaha dan ketentuan kembali kepada
Allah.
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
Kebanyakan
dalam masa sekarang masyarakat lebih cenderung kepada pemikiran logika. Kalau
kita harus berusaha baru mendapatkan apa yang menjadi haknya. Seperti konsep
yang di paparkan di atas tentang mahabbah, mungkin masyarakat akan menerima tentang
bagaimana manusia itu harus sayang kepada Allah dan menjalankan semua
perintahnya meninggalkan larangannya, itu sudah menjadi kodratnya menjadi hamba
Allah yang beragama islam, tapi tidak sepenuhnya terserahkan pasrah kepada sang kholiq.
Melainkan lebih kepada berusaha dulu.
Kalau
pandangan sekarang apabila seorang akan menyerahkan semua nasibnya kepada sang
kholiq dan tidak ada usaha yang dilakukannya untuk mewujudkan kodratnya sebagai
manusia yang mempunyai akal. Akan dianggap kalau orang itu adalah seorang
pemalas yang tidak mempunyai semangat hidup.
E.
KESIMPULAN
Mahabbah
adalah perasaan rasa cinta kasih kepada sang kholiq. Merupakan dasar untuk
menjadi seorang sufi. Mahabbah sifatnya masih umum dapat diajarkan kepada
masyarakat awam merupakan landasan keimanan dan ketaqwaan seseorang.
Tiga
fase ajaran mahabbah : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu
orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang
siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang
kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat
menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang
memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup
menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu
dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang
telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini,
yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada
akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta
pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat
berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Mahabbah
sendiri dalam penerapannya pada mahabbah robbiah adalah dimana seoranng yang
sudah menyerahkan segala sesusuatunya kepada Allah sudah mendekati ma’rifat.
Kenapa sampai segalanya terserahkan kepada Allah karena memang baginya dunia
sudah tidak penting lagi baginya.
BAB II
MA’RIFAT
A.
PENGERTIAN MA’RIFAT
Ma’rifat
artinya pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang
diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui
Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang
dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat &
Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi
seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan
ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga)
bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang
akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu
tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu
dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan
bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan
pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang
dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke
dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang
menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang
melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua
cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
B.
TOKOH-TOKOH
MA’RIFAT
a.
Zunnun Al-Misri
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya
adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut
“Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam
pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal
saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat
berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan
dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat
tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil
berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba
muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil
membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan
menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan
perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia
pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk
diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun
232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di
dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti,
namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih
utuh.
b.
Abu Bakar
al-Kalabazi
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf
li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf),
Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf
setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir,
Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui
Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya
tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi
walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan
sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku).
Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata
hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang
dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui
pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan.
Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan
yaitu:
·
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui
ucapan Syahadat.
·
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui
Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
·
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi,
sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut
ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat
adalah:
·
Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam
dirinya.
·
Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau
membatalkan Zahirnya.
·
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak
membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia
baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan
perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun
selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan
sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan
menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan,
yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang
dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari
satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan
usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus
tinggal bertahun-tahun di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang
terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak
yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin
Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara
Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi
modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh
takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini
mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang
berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf
diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang
diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922
M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam
pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”.
c.
Jalaluddin Rahmat
Menegaskan secara
tekstual bahwa al-Araf adalah dinding antara surga dan neraka “Di
dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada siksa” (Q.S 57 : 13) yakni disebelah
dalamnya –yang terletak berdekatan dengan surga– ada rahmat, dan
disebelah luarnya dari situ ada siksa neraka, yang terletak di dekat sisi
tersebut. Di atasnya adalah meraka yang perbuatan buruk dan baiknya seimbang
pada timbangan (pengadilan) mereka, sehingga meraka melihat ke neraka dengan
satu mata mereka dan melihat ke surga dengan mata yang lain
d.
Al-Muhasibi
Juga berbicara pula
tentang Ma’rifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan agama, dan tidak
mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan
menyebabkan keraguan. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hadits Nabi
yang berbunyi, “pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba
memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya”. Berdasarkan hadits
ini dan hadits-hadits senada, al-Muhasibi mengatakan bahwa Ma’rifat harus
ditempuh dengan tasawuf yang berlandaskan Assunah.
e.
Harun Nasution (1919)
Sebagaimana dengan
Mahabbah dan Ma’rifat,. Para sufi terdahulu menyebutkan Ma’rifat merupakan
Ahwal (keadaan), dan al-Qusyriyah menyebutkan, Ma’rifat merupakan Maqam. Juga
berlainan urutan yang diberikan kepada Ma’rifat dalam susunan yang terdapat
dalam buku-buku Tasawuf. sedangkan al-Ghazali dalam Ihya memandang bahwa
Ma’rifat datang sesudah Mahabbah, ada juga yang berpendapat bahwa Ma’rifat dan
Mahabbah datang secara beriringan dengan kata lain Ma’rifat dan Mahabbah
merupakan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan.
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
Menurut kami ma’rifat adalah cara bagaimana kita mengenal Allah.
Yaitu dengan cara menyerahkan segalanya kepada Allah dalam segalahal. Bagi
merka kehidupan duniawi sudah tidak penting lagi. Cara pandang mereka
menggunakan mata batinnya karena perasaan mereka sangatlah peka, dapat disebut
pula kalau mereka mempunyai indra keenam.
D.
PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Dalam
era moderenisasi yang terkontaminasi dengan adat kebaratan. Membuat masyarakat
sekarang mengubah cara berfikirnya yang dulu agama yang no satu sekarang
menjadi kalau semuanya harus berusaha dulu dan hasilnya memang sudah
adaketentuan hasil dari sang khaliq, apakah baik ataupun kegagalan.
Untuk
menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Allah sangatlah sedikit dari masyarakat
pada sa’at ini. Misalnya dalam suatu daerah itu hanyalah sebagin kecil saja
bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Karena telah berbeda pandangan yang
membuat masyarakat menjadi seperti saat ini.
E.
KESIMPULAN
Ma’rifat
sudah mengkususkan dirinya hanya untuk kepada Allah tidak ada yang lain yang
bisa memalihkan pandanganya. Orang-orang yang sudah pada makam ini mulai tidak
dapat difahami kebiasaannya yang memang sudah beda dengan masyarakat awam.
Kekususannya
ditandai dengan cara beribadahnya dan tingkah lakunya yang beda dengan
orang-orang pada umumnya, dan kita tidak boleh berburuk sangka terhadap mereka.
Karena beda dengan kita nantimkita menghakiminya yang tidak-tidak.
BAB III
Al-FANA’ dan AL-BAQA’
A.
PENGERTIAN
FANA’ dan AL-BAQA’
Secara logawi, fana' berarti hancur, lebur,
musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa' berarti tetap, kekal, abadi
atau hidup terus (l;awan dari fana'). Fana' dan baqa' merupakan
kembar dua dalam arti bahwa adanaya fana' menunjukkan adanya baqa'.
Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan: "The complement and consummation
of death to self (fana') is everlasting life in God (baqa')"
Yakni, "Kelengkapan dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah
kehidupan abadi didalam wujud Tuhan (baqa)". Hal ini memang dapat dilihat
dari fahamfaham sufi berikut :
·
Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya,
yang akan tinggal ialah taqwanya.
·
Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak)
yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
·
Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya,
tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.
Dalam istilah tasawuf, fana' berarti
penghancuran diri yaitu al-fana''an al-nafs. Yang dimaksud
dengan al-fana'
'an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap
wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Al-Qusyairi tentang ini mengatakan Fananya
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya ada dan
demikian pula makhluk lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada
dirinya.
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan
beberapa definisi pengertian fana' ini sebagai berikut :
·
Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan
manusia dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud kemanusiaannya.
Dalam hal pengertian fana' ini,
di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur berarti :
·
Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan
tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar,
terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba
terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya setelah
melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa.
Dan dalam masalah ini pula, Nicholson
mengatakan : To Pass away from self (fana') is to realize that self does
not exist, and that nothing exista except God (tauhid)".
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf,
istilah fana' kata
Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan
sebagai berikut :
a.
Transformasi moral dari jiwa yang dicapai
melalaui pengendalian nafsu dan keinginan.
b.
Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari
seluruh objek persepsi, pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana
kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan
Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat- Nya.
c.
Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran.
Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu
sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal "kefanaan dari
fana" atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana' al-fana') (R. A. Nicholson,
1975: 60-61). Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana' adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang
artinya berkesinambungan di dalam Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana
ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang
hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi
akan eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana the
passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves baqa',
the continuance of his real existence. He who dies to self lives in God, and
fana, the consummation of this death, marks the attainment or baqa',
or union with the divine life" Yakni, "Fana.
Sernuanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke
dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan
pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran)
ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi".
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim
Basyuni, menggambarkan fana' sebagai "sirnanya daya
tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu,
maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan
indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”.
Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah
tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini
mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fana'
'an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai
manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan
wujud-Nya. Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :
B.
TOKOH-TOKOH AL-FANA’ AL-BAQO’
Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan
al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian
timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah
salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di
silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa
thoriqoh lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh
di negeri Irbil sbb: "bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah
golongan Shiddiqiah.".
Masa Remaja
Kakek Abu Yazid al Busthami adalah seorang
penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang
terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia
masih berada dalam kandungan. "Setiap kali aku menyuap makanan yang
kuragukan kehalalannya" , ibunya sering berkata pada Abu Yazid,
"engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau
berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali". Pernyataan itu
dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu
Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur-an. pada suatu hari gurunya
menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi,
"Berterimakasihlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini
sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan
berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang,. Ada yang hendak
kukatakan pada ibuku". Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang
kerumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata,"Thoifur, mengapa engkau
sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian
istimewa?" "Tidak" jawab Abu Yazid "Pelajaranku sampai pada
ayat dimana Alloh memerintahkan agar aku berbakti kepadaNya dan kepadamu.
Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini
sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Alloh
sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Alloh semata
sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata". "Anakku" jawab
ibunya "aku serahkan engkau kepada Alloh dan kubebaskan engkau dari semua
kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.
Abu Yazid Albustami, nama kecilnya ialah
Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya.
Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendirian Abu Yazid ini. Beliau
pernah berkata : "Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan
keramat yang besar-besar, walupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah
kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan
menghentikan dan menjaga batas-batas syari'at". Dengan perkataan beliau
yang seperti ini jelaskan bahwasanya tasauf beliau tidaklah keluar dari garis
syara'. Artinya tasauf yang senantiasa diukur dengan contoh teladan yang
ditinggalkan Nabi dan tidak memilih jalan sendiri diluar agama. Tetapi, selain
dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat kata-kata Abu Yazid yang
"ganjil" dan dalam, yang semestinya hati-hati memahamkannya.
·
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku
hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup
Dan katanya pula :
·
Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku
mati; kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup, …aku berkata :
Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup.
Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana'
'an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau
wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang
akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan
Tuhan. Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya al-fana' 'an al-nafs.
Konsep fana' merupakan tahapan awal yang
berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana' yang artinya
hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin
mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana' ini merupakan bagian yang tidak
dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari
al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun
sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang,
maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik.
Sementara konsep al-baqa' adalah kelanjutan
dari pengertian al-fana yang berarti 'tetap', terus hidup (to remain
persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat
esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri
Tuhan itu. Jadi konsep baqa' dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik. Untuk
memahami lebih lanjut, dikatakan nahwa pengertian al-fana di sini bagi sufi
adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk
perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana
penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini: "Fana
seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan
demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan
pada dirinya."
Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana'
an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak
disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa') wujud rahaniahnya saja, dan ketika
itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan.
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
Fana’
dan baqo adalah sebuah makna yang mengandung arti berhubungan, yang mana
apabila kita ingin menjadi kekasih Allah yang sifatnya kakal maka harus
menghancurkan sifat-sifat kemungkarannya. Karena sesungguhnya yang kekal
hanyalah zat Allah. Dan apa bila manusia ingin kekal dalam artian wujud
rohaninya maka ia harus dapat menghancurkan sifat-sifat kasar baik secara
fisiologis ataupun yang lain sampai ia dapat hilangnya kesadaran tentang
dirinya dan makluk yang lain, yang ada pada dirinya hanyalah wujud (baqa) wujud
rohaninya saja, dan setelah itu ia dapat bersatu dengan tuhan.
Dalam
hal ini orang yang sudah mencapai maqom ini mereka sudah tidak merasa lagi
tentang keadaan dirinya dan makhluk disekitarnya. Yang ia rasa hanyalah
ruhaninya saja yang bersatu dengan tuhannya.
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
Kalau
ditinjau secara global tentang keadaan alam dan sifat masyarakat yang ada saat ini. Sangatlah sulit
penerapannya mungkit dalam satu kota hanyalah beberapa orang yang mampu
menerapkan ajaran yang seperti ini dan itupun dapat dihitung dengan jari.
Karena pada era moderenisasi yang terjadi saat ini, kepercayaan terhadap
hal-hal yang bersifat mistis sangat lah sedikit.
Orang
yang mencapai maqom ini sepertinya orang-orang kusus yang memang dipilih Allah
untuk menjadi kekasihnya yang kekal, bukanlah smbarang orang kalau semua orang
mencapai maqom ini siapa yang akan mengurusi dunia ini.
E.
KESIMPULAN
Dalam
sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani dipandang sebagai pencetus
tahun fana',
baqa' dan
ittihad,
fana ' dan
baqa'
merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad
itu barutercapai setelah melewati fana dan baqa. Fana'
yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan ujud dirinya (al-fana
'an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana 'an al-Khaluq) hingga ia (sufi)
tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana' (al-fana 'an Allah). Kerena seluruh
aktivitas dan kesadarannay terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam
kesadaran Allah (al-fana fi Allah)
dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah (al-baqa
bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu
dengan Allah (ittihad) Ittihad sebagai
pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan, ia memiliki
beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. Pro kontra
faham ittihad harus
dilihat dari sudut ini.
Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1.
Tidak bisa diungkap kepada orang yang belum
mampu atau belum siap menerimanya.
2.
Memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang
tidak bisa dijelaskan hanya dengan nalar intelik.
3.
Pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar,
paling lama hanya berlangsung dua jam.
4.
Terjadi kepasifan total dimana perasaannya
butuh kedalam kesadaran terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.
Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan
situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi', ekstase
itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq)
yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain
ialah apa yang mereka namakan dlamir al-sya'n, yaitu kata "an"
yang berarti "bahwa" dalam kalimat syahadath pertama asyhadu
al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati
tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.
BAB IV
AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
A.
PENGERTIAN
AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
1.
Al-Hulul
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan
makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan.
Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan memahami berbagai fenomena alam
berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indera yang sempurna. Bahkan dalam
kronologi penciptaannya, sengaja Allah memilihkan dengan prosedur (cara) yang
berbeda.
Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya
saling mendukung.Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi
penciptaannya berasal dari tanah.1 Fenomena ini membangun sebuah argumentsi
yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang
memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan
ke tanah.K edua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.2 Konsekuensi
logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu
yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali
kepada Allah.
2. Al-Ittihad
Keadaan ini merupakan
suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah
bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai
aku”.
Ittihad tidak muncul
dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatanfan a’-baqa’ yang
dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah
dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang
menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang
dilakukan secara terus manarus.
Setelah Abu Yazid
mengalamik e-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari
pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu,
yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah
terlebur dalam Dia yang disaksikannya.
Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar.
Kondisi
seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat
seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan.
Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi
pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi
tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama
Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku
dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku
ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak
ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu,
hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu
melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat
engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana.
B.
TOKOH-TOKOH AL-ITTIHAD
DAN AL-HULUL
1. Imam
Ibnu Al-Araby SUFI (Mangsa Takfir)
Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Al-Arabiy Seorang ulama sufi yang menjadi mangsa takfir
Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Al-Arabiy Seorang ulama sufi yang menjadi mangsa takfir
Ramai dikalangan penuntut ilmu yang mendapat
maklumat kurang tepat mengenai Syeikh Ibnu Al-’Arabiy atau juga dikenali
sebagai Syeikh Ibnu ‘Arabiy (tanpa alif lam ta’rif AL), ini berlaku kerana
permulaan bacaan dan maklumat mereka mengenai Syeikh tersebut diambil dari
penulisan yang dibacaa sekerat-sekerat tanpa kajian yang mendalam terutama yang
memfitnah Syeikh Ibnu Al-’Arabiy sebagai berakidah HULUL dan ITTIHAD sedangkan
Syeikh Ibnu Al-Arabiy tersangat jauh dari akidah tersebut.
Maklumat ringkas mengenai Syeikhul Akbar Sufi
Muyhiddin Ibnu Al-’Arabiy:
Beliau adalah Syeikhul Akbar Muhyuddin Ibnu
Al-’Arabiy Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Al-Hatimiy
At-Toiy dari keturunan Abdullah bin Hatim saudara kandung kepada sahabat Nabi
‘Udaiy bin Hatim.
Digelar sebagai Muhyiddin dan diberi kunyah sebagai Abu Abdillah dan juga Abu Bakar. Dikenali dengan Al-Hatimiy, At-Toiy dan juga dikenali sebagai Ibnu ‘Arabiy (tanpa alim lam ta’rif AL) dan di Maghribiy beliau terkenal dengan kunyah Ibnu Al-’Arabiy(dengan alim lam ta’rif AL). Terkenal juga dengan panggilan Sultan ‘Arifin dan Imam Muttaqin dan sebagainya dari gelaran yang sememangnya layak untuk beliau setelah pengkaji meneliti hakikat beliau sebenar. Dilahirkan pada malam Isnin 17 Ramadhan tahun 560H di Andalusia. Meninggal pada tahun 638H Rahimahullah.
Digelar sebagai Muhyiddin dan diberi kunyah sebagai Abu Abdillah dan juga Abu Bakar. Dikenali dengan Al-Hatimiy, At-Toiy dan juga dikenali sebagai Ibnu ‘Arabiy (tanpa alim lam ta’rif AL) dan di Maghribiy beliau terkenal dengan kunyah Ibnu Al-’Arabiy(dengan alim lam ta’rif AL). Terkenal juga dengan panggilan Sultan ‘Arifin dan Imam Muttaqin dan sebagainya dari gelaran yang sememangnya layak untuk beliau setelah pengkaji meneliti hakikat beliau sebenar. Dilahirkan pada malam Isnin 17 Ramadhan tahun 560H di Andalusia. Meninggal pada tahun 638H Rahimahullah.
2.
Ibnu ‘Arabiy Ke Ibnu Al-’Arabiy
Kekeliruan pada gelaran beliau juga berlaku dan
ini turut menunjukkan beberapa isi kandungan kitab karangan beliau juga tidak
terlepas dari tokok-tambah dusta dan nista dari golongan Musyabbihah Mujassimah
yg mahukan fitnah berterus terhadap umat Islam.
Gelaran atau kunyah untuk beliau setepatnya
adalah IBNU AL-’ARABIY
( ابن العربي ) iaitu dengan alif lam ta’rif, apabila ditulis terdapat AL pada permulaan perkataan ‘ARABIY menjadikan ejaan Al-’ARABIY atau apabila disebut secara sambung (wasal) menjadi IBNUL ‘ARABIY. Ini kerana beliau sejak kecil lagi sudah terkenal dengan gelaran sedemikian ditambah pula kebanyakan bapa saudara beliau dan datuk-datuk beliau turut digelar sebagai AL-’ARABIY. Begitu juga kitab-kitab karangan beliau sendiri menulis nama sebagai IBNU AL-’ARABIY.
( ابن العربي ) iaitu dengan alif lam ta’rif, apabila ditulis terdapat AL pada permulaan perkataan ‘ARABIY menjadikan ejaan Al-’ARABIY atau apabila disebut secara sambung (wasal) menjadi IBNUL ‘ARABIY. Ini kerana beliau sejak kecil lagi sudah terkenal dengan gelaran sedemikian ditambah pula kebanyakan bapa saudara beliau dan datuk-datuk beliau turut digelar sebagai AL-’ARABIY. Begitu juga kitab-kitab karangan beliau sendiri menulis nama sebagai IBNU AL-’ARABIY.
Ya, sememangnya disana ada seorang lagi ulama
yang juga digelar sebagai IBNU AL-’ARABIY iaitu Al-Qodhi Muhammad bin Abdullah
IBNU AL-’ARABIY Al-Ma’firiy Al-Malikiy lahir pada 468H pengarang kitab Qonun Ta’wil
tetapi ia tidak menjadi penghalang untuk mengelarkan yang lain sebagai nama
tersebut. Dalam Artikel ini hanya menceritakan Imam Ibnu Al-’Arabiy atau Ibnu
‘Arabiy yang Syeikh Sufi tu atau lebih dikenali dengan Imam Muhyuddin Ibnul
‘Arabiy. Tidak ada masaalah sekiranya sekejap beliau digelar sebagai IBNU
‘ARABIY kemudian IBNU AL-’ARABIY pula kerana kedua-duanya adalah gelaran bagi
beliau.
3.
Hulul dan Ittihad bukan aqidah Imam Ibnu
Al-Arabiy
Akidah Hulul adalah akidah sesat yang mendakwa
zat Allah berada didalam diri makhluk dan makhluk berada didalam diri Allah.
Akidah Ittihad pula adalah akidah sesat yang mendakwa semua yang ada ini
makhluk dan Allah adalah bersatu antara satu sama lain. Kedua-duanya lebih
kurang sama dan sesat.
Manakala tuduhan akidah hulul, ittihad dan
pelbagai lagi akidah batil terhadap Imam Ibnul ‘Arabiy adalah satu fitnah yang
membawa kepada pentakfiran antara satu sama lain dan fitnah yang besar sehingga
ke hari ini. Ramai yang keliru termasuk beberapa para pengkaji dan ini penjelasan
ringkas saya (Abu Syafiq) atas segala kekeliruan itu :
Kebanyakan isi kandungan kitab-kitab Imam Ibnu
Al-’Arabiy sebenarnya telah ditokok tambah dengan pengisian yang terpesong dari
ajaran Islam sebenar. Ia bukanlah tulisan Imam Ibnul ‘Arabiy bahkan beliau
berlepas tangan dari segala itu.
4.
Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya’roniy
Berkata dalam kitabnya berjudul Al-Yawaqit Wal
Jawahir Fi ‘Aqoidil Akabir m/s 9:
” Segala
isi kandungan kitab Ibnul ‘Arabiy yang bertentangan dengan syariat Islam dan
bertentangan dengan jumhur ulama maka ketahuilah bahawa ianya adalah palsu,
dusta dan ditokok-tambah oleh musuh-musuh Islam. Syeikh Sayyidy Abu At-Tohir
Al-Maghribiy di Mekah juga telah memberitahu aku sedemikian dan beliau membawa
kepada aku naskhah asal kitab Imam Ibnul ‘Arabiy yang berjudul Al-Futuhaat
Al-Makkiyah yang diterima dari naskhah asal di Madinah Quniyyah maka aku dapati
isi kandungannya tidak langsung terdapat akidah yang pernah aku lihat (hulul
dan ittihad) dan ianya selari dengan apa yang aku telah ringkaskan dari kitab
Al-Futuhaat “.
5.
Imam Ibnu Al-’Arabiy
dikatakan berakidah Hulul atau Ittihad
sedangkan beliau sendiri terkenal menolak akidah tersebut dan akidah-akidah
batil yang lain dan beliau terkenal sebagai seorang yang menyebut kenyataan
menolak kedua akidah batil tersebut dengan :
من قال بالحلول فدينه معلول، وما قال بالاتحاد إلا أهل الإلحاد
من قال بالحلول فدينه معلول، وما قال بالاتحاد إلا أهل الإلحاد
Maksud kenyataan Ibnu Al-’Arabiy tadi :
“Sesiapa yang berakidah Hulul maka agamanya terpesong, dan tidak berakidah
Ittihad melainkan orang itu mulhid”.
Rujuk kitab Al-Futuhaat AL-Makkiyah pada Bab Al-Asrar dan pada Bab Yang Ke 559 yang telah dinyatakan oleh Asy-Sya’roniy. Amat jelas Imam Muhyiddin Ibnu Al-’Arabiy menolak akidah Hulul dan Ittihad.
Rujuk kitab Al-Futuhaat AL-Makkiyah pada Bab Al-Asrar dan pada Bab Yang Ke 559 yang telah dinyatakan oleh Asy-Sya’roniy. Amat jelas Imam Muhyiddin Ibnu Al-’Arabiy menolak akidah Hulul dan Ittihad.
Maka segala fitnah terhadap beliau atas tuduhan
berakidah Hulul dan Ittihad hendaklah dihentikan dan perlu dibezakan antara
As-Sufi Imam Muhyiddin Ibnul ‘Arabiy dengan golongan yang mengaku sufi ataupun
yang mengaku pengikut Imam Ibnu ‘Arabiy tetapi hakikatnya sufi dan Ibnu ‘Arabiy
amat jauh dengan mereka.
6.
Dakwaan kufur terhadap Ibnu Al-Arabiy
Sememangnya ada beberapa insan yang
mengkafirkan Imam Ibnu Al-’Arabiy ini atas salah anggap tulisan terpapar yang
dibaca. Pelik juga pentakfiran terhadap Imam Ibnul ‘Arabiy tidak terkenal
berlaku pada zaman beliau tetapi selepas puluhan tahun kematian beliau. Berbeza
dengan keadaan Ibnu Taimiyah yang mana ulama Islam menghukum Ibnu Taimiah
sebagai kafir terkeluar dari akidah islam adalah dari kalangan ulama Islam yang
hidup dizaman Ibnu Taimiyah sendiri bahkan para tuan kadi dari keempat-empat
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafie dan Hambali) telah menghukum kufur terhadap Ibnu
Taimiyah dizaman Ibnu Taimiah sendiri.
Ini juga menunjukkan penghukuman kufur/sesat
terhadap Imam Ibnu ‘Arabiy oleh sebahagian insan adalah tidak berbukti yang
tepat, hanya sekadar melihat pada buku yang telahpun dicetak yang sememangnya
telahpun ditokok-tambah oleh musuh Islam sedangkan naskhah asal kitab Imam Ibnu
‘Arabiy tidak tertera akidah sesat tersebut.
Lihat sahaja bagaimana mereka mengkafirkan Imam
Ibnu ‘Arabiy atas dakwaan kononnya Ibnu ‘Arabiy berakidah manusia itu Tuhan
Tuhan juga adalah manusia lantas menuduh Ibnu ‘Arabiy berkata “hamba itu adalah
Tuhan” sedangkan apabila kita melihat naskah kitab asal beliau terdapat ayat
yang amat berlainan pada syi’ir yang didakwa.
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang
dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan
merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan
Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan
Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar
dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil,
sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika
aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid,
makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku
aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu
kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat
engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana.
D.
PENERAPAN DALAM
MASA SEKARANG
Untuk
menerapkan konsep ini haruslah melewati fase-fase atau tahap yang harus dilewati
tidak langsung bisa diterapkan. Kalau orang langsung menerapkannya orang akan
menjadi sesat atau musrik.
Kebanyakan
sekarang yang harus diterapkan adalah konsep dasar penyadaran, dan setelah itu
mungkain akan menginjak masa-masa sesudahnya ibaratnta alir akan menangalir.
E.
KESIMPULAN
Demikianlah dalam pandangan Al-Ittihad dan Al-Hulul bahwa Tuhan dan
manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia
berhasil menghasilkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkan lewat berbagai
ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari keridloan Allah, maka dipastikan ia akan
bisa bertemu dan menyatu dengan sifat Allah.
Sebaliknya, apabila manusia tanpa mau berusaha menghilangkan atau
melenyapkan sifat kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan akan bertemu
dan menyatu dengan Allah.
BAB V
WAHDATUL AL-WUJUD
A.
PENGERTIAN
WAHDATUL AL-WUJUD
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki
atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam
semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah
menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari
pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud.
Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah
bagian dari dzat Allah.
Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut,
Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin
bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni
bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri- Nya. Dia ingin
memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah 'harta simpanan' (kanz makhfi)
yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang
menyatakan hal itu. Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang
banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu,
tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin
tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya,
tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigmat asy
bîh danta nzî h yang digunakan Ibn Arabi. Dari segitas, Tuhan sama dengan alam,
karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari
segit anz îh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan
waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas, Ibn Arabi
menyatakan 'Huwa la Huwa' (Dia bukan Dia --yang kita bayangkan). Sedekat-dekat
manusia menyatu (ittihad) dengan- Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu
dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan
'bayangan-Nya', bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai.
Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah.
Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para
wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah
serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco
berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke Islam), manusia dianggap memiliki 20
sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita,
jadi kita tidak perlu salat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa:
Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan
syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar
dihukum oleh para wali sembilan.
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak
disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang
mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul
wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah
menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn
Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah
tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
B.
TOKOH-TOKOH
WAHDATUL WUDUD
1.
Ibn Arabi
Lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn
Muhammad ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi, lahir di Mursia, Spanyol bagian
tenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn
Sa`id ibn Mardanisy. Menurut Affifi, Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan
Arab yang saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalah tokoh
sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan
al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang besar
terutama dalam bidang mistik. Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai
posisi sebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus --dan di
makamkan disana- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/ Nopember 1240 M, dalam usia 78
tahun.
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville,
ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-
Qur'an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan pendidikan
dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya-- mengantarkannya sebagai
sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan. Yang perlu dicatat, bahwa kota
Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat
kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal disana. Kondisi
keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibn
Arabi sebagai tokoh sufis yang terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat
sejak usia 20 tahun.
Selama menetap di Saville, Ibn
Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk
berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka.
Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn
Rusyd (1126- 1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof
Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran; sesuatu yang menunjukkan
kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga,
menurut Kautsar, menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan
filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman- pengalaman visioner mistiknya
berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi
adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa
memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis
maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung
Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang
melakukan pemberontakan pada dinasti Murabbitin. Kemudian pergi ke Fez dan
tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali
ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199 M, pulang ke Kordova guna menghadiri
pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa karya
tulis, seperti Mawâqi' al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi,
situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol
ataupun di Afrika utara, sehingga ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena
--seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.
Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn
Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia
mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al- Futuhât al-Makkiyah,
disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali
mengembara ke berbagai kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya,
Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di
Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid
Khidir untuk menerima rahasia- rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi
berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan
Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w. 630/1233 ), seorang
tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif. Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi
menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M).
Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan
pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan
mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futûhat al-Makkiyah,
dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam, di samping kitab-kitab
yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat
di terima di masyarakat.
Ibn Arabi termasuk tokoh yang
sangat produktif. Menurut Osman Yahia, Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari
700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika,
kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua
didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar
adalahal- Fu tû h â t al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500
halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam, yang
menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya
ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena
paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku
ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.
2.
Syeh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit,
Lemahbang,
dan Lemah Abang) adalah seorang
tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di Pulau
Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat
terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh
Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya
sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan
tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya
tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian,
ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti (Hidayat,
Atif, 2009. atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/ diakses
tanggal 10 Maret 2009).
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan
dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh
Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada
penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Di dalam Babad Jaka Tingkit
diceritakan bahwa Siti Jenar memasrahkan diri sepenuhnya terhadap utusan para
wali untuk menghukum mati dirinya. Siti Jenar dikenai hukuman pancung. Tapi,
ada yang aneh, kepala terlepas dari badan itu mampu bicara dan memanggil semua
darah yang menyembur itu untuk kembali lagi ke tubuh dan tidak boleh ada yang
masih tercecer. Semua darah seakan dihirup lenyap, tiada jejak, dan kepala
menempel lagi pada tempatnya. Sempurna, tiada berbekas.
C.
ANALISA
KELOMPOK 7
Dalam ajaran ini hanyalah orang-orang tertentu yang sudah mencapai
maqom ini saja yang boleh mempelajarinya apabila sampai salah arah sedikit saja
dalam penyampainyannya akan menjadi seorang yang dianggap sesat. Pada inyinya
ajaran ini hanya kusus orang-orang tertentu. Seperti yang terjadi pada kasusnya
Shekh siti jenar, karena salah penyampaiyan ajarannya kepada masyarakat awam
maka ia harus dibunuh karena dapat menyesatkan orang banyak.
D.
PENERAPAN
DALAM MASA SEKARANG
Tidak sembarang orang yang menerapkannya. Apabila semua orang
menerapkan maqom ini dunia mungkin terlihat aneh tidak ada aktivitas yang
mewarnai kehidupan ini. Kehidupan akan terasa hampa seperti tiada penghuninya.
Dan dari kebiasaan masyarakat sekarang yang sangat memburu
kakayaan dunia sudah terlihat jelas bagaimana bisa diterapkan, kalau tidak
memang mempunyai latar belakang yang mengarah kepada ajaran tersebut, apa bila
hanya orang awam saja kehidupan dunia akan menjadi hancur tidak ada
keseimbangan alam yang terjadi.
E.
KESIMPULAN
Dari
segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem
pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika
menyatakan bahwa eksistensi adalah 'patokan' segala sesuatu. Kemudian berubah
menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada
sesuatu yang tampak nyata dan konkrit ini tetapi pada yang transenden dan itu
hanya satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis
dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden
dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.
Pemikiran
kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski
dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiranittihâ d (penyatuan manusia
dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1) Dalam
teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan
(al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan
sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn
Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta
(al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan,
dalam Ibn Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang
ada hanya keesaan.42 Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata uang.
Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan Pencipta; dari
aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.
Konsep
ini selangkah lebih 'berani' dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang
lain, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan
makhluk, baik dari kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd
tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta
identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya
sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa
mahluk-Nya bukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh
selain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.
BAB VI
A. PENGERTIAN TORIQOH QODIRIYYAH dan TORIQOH NAQSYABANDIYAH
Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah
Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang
Sufi Syekh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syekh Ahmad
Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M). Beliau adalah seorang
ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syekh
Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam
Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari
sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti
dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.
Sebagai seorang mursyid
yang kamil mukammil Syekh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk
membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam
tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah
mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran
Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat
dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan
inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah
Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal
dari Indonesia.
Penggabungan inti
ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa
kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama
jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang
sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul
Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan
Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.
Dengan penggabungan
kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian
yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien.
Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya
merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan
dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah,
Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah).
Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain
kawasan Asia Tenggara).
Penamaan tarekat ini
tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad Khathib al-Sambasi
terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat
itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan
tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat
Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil
ijtihadnya.
Sebagai suatu mazhab
dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini
kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan
pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau
metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling
efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada
Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus
shalihin. Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu :
tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.
B.
TOKOH-TOKOH
TORIQOH QODIRIYYAH
1.
Allah
2.
Sayyidina
3.
Jibril
AlaiHhis-salam Bertalqin dan berbai’at dari :
4.
RosuulullaaHh
Muhammad saw Bertalqin dan berbai’at dari :
5.
Al Arif
BillaaHh Sayyidina Ali KarromallaaHhu WajHhaHh
Bertalqin dan berbai’at dari : Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan AllaaHh kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
Bertalqin dan berbai’at dari : Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan AllaaHh kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
6.
Al Arif
BillaaHh Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anHhu Bertalqin dan berbai’at
dari :
7.
Al Arif
BillaaHh Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn Bertalqin dan berbai’at dari
:
8.
Al Arif
BillaaHh Hadrotusy-syaikh Imam Muhmmad Baqir Bertalqin dan berbai’at dari
:
9.
Al Arif
BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq Bertalqin dan berbai’at dari
:
10. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym Bertalqin dan
berbai’at dari :
11. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo Bertalqin
dan berbai’at dari :
12. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al
Karkhi Bertalqin dan berbai’at dari :
13. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi Bertalqin dan
berbai’at dari :
14. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al
Baqhdadiy Bertalqin dan berbai’at dari :
15. 14. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As
Shibliy Bertalqin dan berbai’at dari :
16. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al
Tamimi Bertalqin dan berbai’at dari : 16. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh
Abul Faraj Al Thurthusiy Bertalqin dan berbai’at dari :
17. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al
Hakariy Bertalqin dan berbai’at dari :
18. 18. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al
Mubarrok Bertalqin dan berbai’at dari :
19. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al
Jiylani Bertalqin dan berbai’at dari :
20. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz Bertalqin dan
berbai’at dari :
21. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki Bertalqin
dan berbai’at dari :
22. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
23. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
24. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
25. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
26. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
27. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
28. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Yahya Bertalqin dan berbai’at
dari :
29. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Bakar Bertalqin dan
berbai’at dari :
30. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym Bertalqin dan
berbai’at dari :
31. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Utsman Bertalqin dan
berbai’at dari :
32. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
33. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah Bertalqin dan
berbai’at dari :
34. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Murod Bertalqin dan
berbai’at dari :
35. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn Bertalqin dan
berbai’at dari :
36. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy Bertalqin
dan berbai’at dari :
37. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh HasbullaaHh Madura Bertalqin
dan berbai’at dari :
38. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso Bertalqin dan
berbai’at dari :
39. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy
At Tamimimiy Bertalqin dan berbai’at dari :
40. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al
Ishaqi Bertalqin dan berbai’at dari :
41. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al
Ishaqi Bertalqin dan berbai’at dari :
C.
TOKOH-TOKOH
TORIQOH NAQSYABANDIYAH
Allahumma
Shalli ala saidina Muhammad wa’ala alihi washabihi ajma’in maka inilah
mula-mula Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, maka mewahyukan Allah
Ta’ala kepada Jibril As. rahasia yang amat halus, disuruh berikan kepada
Hambanya yang suci dan putus pengenalannya dan kuat yakin, kemudian maka turun
Jibril ke Dunia, diberikan rahasia itu kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, dan
daripadanya turun kepada sahabatnya:
1. SAIDINA ABU BAKAR SIDDIQ Ra, dan dari padanya turun kepada:
2. SAIDINA SULAIMAN Ra, Saidina Sulaiman itu setengah dari keluarga
Rasulullah SAW, dan daripadanya turun kepada:
3. SAIDINA SALMAN AL FARISY Ra, dan daripadanya turun kepada Imam:
4. SAIDINA QASIM Ra, anak Saidina Abu Bakar Siddiq Ra, dan daripadanya
turun kepada:
5. IMAM JAKFAR MUHAMMAD SYARIF Ra, dan adalah Imam Jakfar itu anak
cucu Saidina Ali KW, dan daripadanya turun kepada Sultan Arifin Syekh Taifur
anak Aisyah, namanya yang masyhur:
6. SAIDI SYEKH ABI YASID AL BUSTAMI Qs, dan daripadanya turun keramat
beberapa Aulia Allah, yaitu:
7. SYEKH ABIL HASAN KHARQANI Qs, dan daripadanya turun kepada sekalian
kutub, yaitu:
8. SYEKH ABI ALI SOMAD BIN SYEKH YUSUF HAMDANI Qs, dan daripadanya
turun kepada wali:
9. SYEKH ABDUL KHALIQ FAJDUANI Qs, dan daripadanya turun kepada kutub
sekalian Aulia Allah, yaitu:
10. SYEKH ARIF RIUKARI Qs, dan daripadanya turun kepada Hambanya Kepada
sekalian Guru-guru, yaitu:
11. SYEKH MUHAMMAD WALJIRI FAKNAWI Qs, dan daripadanya turun kepada
Wali Arfani yang sangat kasih akan Tuhannya yang Ghani, yaitu:
12. SYEKH LALAL RAMAISIR Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu
sekalian Aulia Allah, yaitu:
13. SYEKH BABA SAMASI Qs, dan daripadanya turun kepada Raja yang besar
lagi saidi, ialah Kepala sekalian Guru-guru, yaitu:
14. SYEKH SAID AMIN KILALI Qs,
dan daripadanya turun kepada Aulia yang masyhur keramatnya dan makmur, ialah
imam Thariqat Naqsabandiyah, Namanya:
15. SYEKH MUHAMMAD BAHAUDDIN BUKHARI Qs, dan daripadanya turun kepada
Penghulu sekalian Kutub Syekh Muhammad Bukhari, Namanya yang masyhur:
16. SYEKH ALAUDDIN ATHARI Qs, dan daripadanya turun kepada:
17. SYEKH ABDUL ALAHRAR RASMIPANDY Qs, dan daripadanya turun kepada
Raja yang salih, ialah kepala sekalian Guru-guru, yaitu:
18. SYEKH MUHAMMAD SYUHDI Qs, dan daripadanya turun kepada anak
saudaranya yang besar dan martabat yang tinggi, yaitu:
19. SYEKH MUHAMMAD DURSI Qs, dan daripadanya turun kepada anak Raja
yang alim lagi lemah lembut perkataannya, yaitu:
20. SYEKH MAULANA KHUJUKKI Qs, dan daripadanya turun kepada Aulia yang
kutub:
21. SYEKH MUHAMMAD BAQI Qs, dan daripadanya turun anak cucu Saidina
Umar Ra, yang masyhur namanya karena keramatnya, yaitu:
22. SYEKH AKHMAD FARKI ASIR HINDI Qs, yang dimasyhurkan namanya imam
Rabbany Muhammadil Hasani dan daripadanya turun kepada anaknya yang tempat
kepercayaannya yang menaruh rahasia, yaitu:
23. SYEKH MUHAMMAD MAKSUM Qs, dan daripadanya turun kepada anaknya
Sultan Aulia:
24. SYEKH SYAIFUDDIN Qs, dan
daripadanya turun kepada sinar yang gilang gemilang cahayanya, yaitu nyata zat
dan sifat, yaitu:
25. SAIDI SYEKH MUHAMMAD NUR BILAWANI Qs, dan daripadanya turun kepada
Wali yang tinggi pangkat dan keramatnya, yaitu:
26. SYEKH SYAMSIR ABDAIN HABIBULLAH JANJANAN AL MATHAR Qs, dan
daripadanya turun kepada kepala sekalian Guru-guru dan kepala daripada sekalian
Khalifah dan penghulu sekalian Aulia, yaitu:
27. SYEKH ABDULLAH DAHLAWI HINDI Qs, dan daripadanya turun kepada anak
cucu Saidina Usman Ibnu Affan Ra, ialah Syekh yang masyhur Ahli Thariqat
Naqsabandiyah, kepada Gurunya itu maka fanafillah dan baqabillah, kemudian pada
suluk lalu menjadi Penghulu khalifah, yaitu:
28. SYEKH MAULAN DIAALHAQ WADDIN KURDI BAGDADI Qs, dan daripadanya
turun kepada Arif-billah yang benci akan Dunia dan sangat kasih akan zat Allah
Ta’ala, ialah kepala sekalian Guru-guru dalam negeri Mekkah, yang masyhur
namanya:
29. SYEKH ABDULLAH Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian
Khalifah, yaitu mempunyai keramat yang nyata:
30. SYEKH SULAIMAN QARIMI Qs, dan daripadanya turun kepada menantunya
yang alim lagi shalih senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqabillah siang dan
malam kepada Tuhan Khaliqul Alam dan nyata dapat kesempurnaan dan kemuliaan,
ialah Penghulu sekalian Khalifah dan Ikutan sekalian orang-orang suluk, yaitu
mursyid:
31. SYEKH SULAIMAN ZUHDI Qs, dan daripadanya turun kepada tempat yang
sempurna suci kepada kemuliaan Allah Ta’ala dan menambah ia baginya,
yaitu:
32. SYEKH MAULANA IBRAHIM Qs, dan daripadanya turun kepada muridnya
yang alim lagi shalih, senantiasa tafakkur dan muraqabah siang dan malam dan
ikutan sekalian orang yang suluk, yaitu:
33. SYEKH MAULANA ABDUL JALIL Qs, dan daripadanya turun kepada muridnya
yang menambah ia, Allah Ta’ala akan derajatnya dan kuat melalui jalan kepada
Allah Ta’ala, maka melebihkan Allah Ta’ala baginya karunianya, menambah ia
selama berkhidmat akan Allah Ta’ala, barang siapa menuntut jalan kepada Allah
Ta’ala kepadanya, pada kemudian menegakkan Allah Ta’ala atas orang yang hidup
akan menambah yaqin zikir yang bathin dan syah, yang dikenal bagi yang kaya dan
mencerdikkan bagi Allah Ta’ala baginya, dan mengambilkan Allah Ta’ala baginya
orang yang suluk dengan Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, Ummat
Allah Ta’ala dan menyembunyikan akan dia Wali yang pilihan, yaitu
Mursyid:
34. SYEKH HAJI HARUN Qs, dan daripadanya turun kepada Muridnya yang
pilihan yang sangat kasih akan Gurunya, akan Allah Ta’ala dan kuat menjalankan
hakikat, dan kuat mengerjakan jalan berkhidmad (adab) dan menjadi ikutan orang
yang suluk yang berthariqat, Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah,
yaitu Mursyid:
35. SYEKH AMIR DAMSAR SYARIF ALAM, dan daripadanya turun kepada anak
Jasmani dan Ruhaninya, yang mengikut akan ayahandanya dan yang sangat kasih
akan Ayahandanya, dan menjadi ikutan orang-orang yang suluk yang ber-Thariqat
Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, yaitu Mursyid:
36. SYEKH GHAZALI AN NAQSABANDY, atas ijin Allah yang maha suci
Subhanallah-Subhanallah-Subhanallah
D.
ANALISA
KELOMPOK 7
Bahwa begitu masyarakat menjadi lebih modern dan
terindustrialisasi, fungsi-fungsi social guru sufi dan organisasii mereka akan
menurun. Pada pertengahan abad ke-20, banyak analisis yang melukiskan gambaran
tentang berkurangnya, dan mungkin lenyapnya, tarekat-tarekat sufi. Namun,
berlainan dengan oposisi dan prediksi-prediksi itu, tarekat-tarekat sufi justru
semakin kuat secara menajubkan di sebagaian besar dunia Islam serta dalam
komunitas muslim tempat mereka menjadi minoritas.
E.
PENERAPAN
DALAM MASA SEKARANG
Pada masa sekarang sudah banyak orang yang mengikuti ajaran
tarekat tapi yang paling banyak adalah dari kalangan orang-orang desa. Untuk
orang kota sangatlah minim responnya untuk ajaran tarekhat.
Kalau untuk diterapkan pada masa sekarang sangatlah baik. Karena
agar masyarakat tidak memfikirkan perut dan dunianya saja.
F.
KESIMPULAN
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena
pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti
ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping
keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan
pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah
Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah
mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.\
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam
hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut
tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena
ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan
perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang
kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.
DAFTAR PUSTAKA
Chodjim,
Ahmad. 2007. Syekh Siti Jenar : Makrifat
dan Makna Kehidupan. PT SERAMBI ILMU SEMESTA : Jakarta
id.wikipedia.org/Wahdatul_Wujud.htm.
Diakses tanggal 7 Desember 2010
Soleh,
Khudori. 2010, www.scribd.com/doc/4219671/Wahdatul-Wujud-Ibn-Arab.
diakses tanggal 7 Desember 2010
Hidayat,
Atif, 2009. atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/ diakses
tanggal 10 Maret 2009
(http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/12/hubptai-gdl-asmaranas-584- 1-asmaran.-i, 28
Nopember 2010).
HAMKA,
1993. Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka
Panjimas, Jakarta
mistikus-sufi.blogspot.com/2008/03/abu-yazid-al-bustami.html,
27
Nopember 2010
http://www.asy-syifauljinan.co.cc/2009/04/silsilah-thoriqoh-qodiriyyah-wan.htmldownload.
kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://thoriqohqodiriyyah.blogspot.com/.down
load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://kafeilmu.co.cc/tema/definisi-al-ittihad-dan-al-hulul.html.down
load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://thoriqoh-indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=51&Itemid=74.down
load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://mbahsomo.net63.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=19.down
load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah.down
load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa%3APencarian&redirs=1&search=AL-ITTIHAD+dalam+tasawuf&fulltext=Search&ns0=1down
load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai akidah bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
BalasHapus