PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID
Dosen Pengampu:
Dr. Samsul Hadi, M.Ag
Oleh :
Muhammad Anis Yahya (10110263)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM (UIN) MALANG
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala bagi Allah Tuhan semesta alam yang senantiasa menaburkan nikmat dan rahmat-Nya kepada seluruh umat manusia, serta terselesaikannya makalah ini untuk memenuhi tugas makalah study PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM yang membahas tentang “PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID” yang dibimbing oleh Dr. Samsul Hadi, M.Ag dengan baik. Dan shalawat serta salam semoga tetap tecurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafaatnya dihari kiamat nanti. Amin.
Terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini, terutama dukungan dan do’a yang penuh kasih sayang dari Abah dan Ibunda kami tercinta, serta teman-teman senasib seperjuangan. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang lebih baik.
Makalah ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi para pembaca dan dapat dipelajari dengan baik serta dapat mengambil hikmah dari apa yang tertuang di dalamnya, dan yang pasti dapat lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Malang, 20 november 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arus dunia kebebasan dan Modernisasi Barat telah mempengaruhi pemikiran serta aqidah umat Islam melalui beberapa aspek kehidupan yang mendasar pada agama pluralisme agama. Dianggap sebagai gerakan pembaharuan pemikiran Islam
fundamental dan tradisional berujung pada pembaruan ajaran Islam oleh para pemikir Islam Liberal. Gagasan tersebut merupakan sumbangsi kepemimpinan para pengemuka agama serta pengaruh barat kepada umat Islam agar mereka berkiblat kepada peradaban Barat yang liberal dan sekuler. Hal ini telah di adopsi oleh Nurcholis Majid dalam menyebarkan pemikirannya yang sekuler serta inklusif. Padahal, sejarah peradaban Barat dibangun oleh produktifitas pemikiran ulama muslim. Berbeda dengan Islam yang telah jelas konsep Tuhan dan hidupnya berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
fundamental dan tradisional berujung pada pembaruan ajaran Islam oleh para pemikir Islam Liberal. Gagasan tersebut merupakan sumbangsi kepemimpinan para pengemuka agama serta pengaruh barat kepada umat Islam agar mereka berkiblat kepada peradaban Barat yang liberal dan sekuler. Hal ini telah di adopsi oleh Nurcholis Majid dalam menyebarkan pemikirannya yang sekuler serta inklusif. Padahal, sejarah peradaban Barat dibangun oleh produktifitas pemikiran ulama muslim. Berbeda dengan Islam yang telah jelas konsep Tuhan dan hidupnya berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Berbagai macam pembaruan pemikiran dilakukan dari makna agama Islam, kemajemukan dalam perbedaan agama. Sampai menjujung tinggi paham pluralisme dengan dalih bahwa al-qur’an merupakan firman Allah yang telah menyeru pada persamaan tujuan beragama sampai harusnya Islam memodernisasi priloaku social dan kehidupan. Oleh sebab itu, penulis disini membahas pemikiran Nurcholis Majid yang condong pada 2 faktor utama yaitu sekularisasi dan inklusivisme. Agar kita tidak salah arah dan tujuan terhadap hakekat kemajuan Islam terdapat pada penetapan syari’at Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Nurcholis Majid
2. Seperti apa pemikiran Nurcholis Majid
3. Dimana titik kekurangan Nurcholis Majid
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui biografi Nurcholis Majid
2. Mengerti pemikiran Nurcholis Majid
3. Mengetahui letak kekurangan pemikiran Nurcholis Majid
PEMBAHASAN
A. BiografiSingkat Nur Cholish Madjid
Nurcholis lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di pesantren (Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, sampai tahun 1955, dan kemudian Pesantren Darus Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sampai tahun 1960), ia menempuh studi kesarjanaan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mendapat BA dalam Sastera Arab th. 1965, dan Doktorandus- Sastera Arab th.1968).
Semasa menjadi maha siswa, Nurcholish madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum HMI cabang Ciputat pada tshun 60an. kemudian menjadi ketua umum pengurus pusat HMI dua periode/1966-1971. Dan kemudian menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago- Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyah. Bidang yang diminatinya selain Filsafat, adalah: Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, serta Politik negara-negara berkembang[1].
Nurcholis aktif mengikuti berbagai kegiatan internasional yang berkaitan dengan permasalahan agama, beberapa di antaranya adalah: Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, Italy; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, Austria; Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USA; Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian Aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran; Presenter, Seminar Internasional tentang “Ekspresi-ekspresi Kebudayaan Tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, Morocco; Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, Italy; Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia; Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia; Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abadke-21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands; Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang; Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia; Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur; Pembicara, Konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USA; Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konferensi Kedua, Mei 1997, Vienna, Austria; Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USA; Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA; Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USA; Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USA; Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USA; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, Switzerland; Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, Japan; Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan[2].
Bila di tilik dari ragam pengalamnnya dapat disimpulkan bahwa transformasi peradaban barat sangat banyak menyumbangkan serta membentuk nilai-nilai liberal yang mendasari pola fikirnya khususnya tentang Sekularisme dan Islam inklusivisme.
B. Pokok-Pokok Pemikiran Nurcholish Madjid
a. Sekulerisme
To have failed to solve the problem of producing goods wolud have been to continue man in his oldest and grievous misfortune. But to fail to see that we have solved it and to fail to proceed thence to the next task would be fully as tragic[3]. Kemajuan suatu bangsa akan berhasil apabila problema ditindak lanjuti setelah medernitas itu sendiri telah berhasil diwujudkan dalam bentuk kemudahan hidup dan kemakmuran seperti Barat. Sehingga hal ini membuat Nurcholis Majid mengajukan pernyataan bahwa, apakah Islam relevan bagi kehidupan modern? Masalahnya adalah kum muslim menutup dirinya dengan skriptualisme yang amat kuat, dengan dalih menjaga kemurnian dan keaslian Kitab Suci dan secara tidak langsung hal ini menghalangi kemodernan atau pembaharuan dalam Islam. Oleh sebab itu dialog-dialog umat muslim akan berusaha mengenali siapa yang murni dan mana yang tambahan atau dalam istilah ilmuwan sosial Great Tradition atau Folk Tradition[4].
Nurcholis Majid menyampaikan gagasan sekulerisasi dengan menganjurkan Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam pertama kali pada tanggal 2 Januari 1970 dalam makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.“[5] Dan Indonesia saat ini sedang dilanda oleh beberapa gejala yang menurut orang Barat diidentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme tetapi ketika islam mulai migrasi menuju civil liberties kecemasan itu berkurang. Dengan wacana bebas, bukan hanya kejelasan-kejelasan yang diperoleh tapi juga proses penisbian, relasi dan fisasi bahkan lebih radikal dari itu adalah proses devaluasi[6].
Oleh sebab itu dalam kaitannya dengan sekularisasi maka kita akan mengenal tiga prinsip dasar dari sekularisasi yaitu :
1. Disenchantment of nature
Menurut Harvey Cox, senada dengan apa yang diungkapkan oleh Max Weber seorang sosiolog Jerman, dunia perlu dikosongkan dari nilai-nilai agama dan rohani. Yang selanjutnya, sains akan terus berkembang jika dikosongkan dari nilai-nilai agama yang ghaib. Karena itulah tokoh-tokoh agama konservatif , dunia tidak boleh diperlakukan sewenang- wenang. Padahal dengan adanya pembebasan dunia dari agama merupakan kunci utama dalam usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi.
2. Desacralization of politik
Dalam hal ini pembebasan nilai dari politik yang berarti bahwa politik tidak sakral. Maka dari itu peran ajaran agama kepada intuisi politik harus disingkirkan. Karena dalam masyarakat sekuler tidak seorangpun berhak memerintah secara otoritas “ kuasa suci “.
3. Decansencration of value
Prinsip sekularisasi yang ketiga ini adalah pembebasan nilai yang ada atau merelatifkan nilai.menurut sekularis tidak ada yang absolute di dunia ini semuanya bersifat relative tidak ada kebenaran yang mutlak.. dalam artian system nilai manusia secular harus dikosongkan dari agama karena perspekti seseorang dipengaruhi oleh factor social budaya.
Jadi sekulerisasi menurutnya, ” Bukan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis.” Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Jika Indonesia kembali pada fundamentalisme Islam ibarat bahaya narkotika yang selalu membekas dalam diri manusia, pernyataan itu sesuai dengan cuplikan pidatonya yang menghebohkan ketika menyampaikan pidato keagamaan di Taman Ismail Marzuki 21 Oktober 1992: ” Karena itu, bagaimanapun, kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan ridak berdaya. Sebagai sesuatu yang hanya memberi hubungan ketenangan semua atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika menampilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran, baik secara individual maupun kelompok karena tidak berpengaruh terhadap kulture sosial. Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin tinggi, maka penyakit yang terakhir ini lebih berbahaya dari pada yang pertama.
Sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman bagi kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak kurang gawatnya.”
Akhirnya pidato itu menuai kritik dari berbagai kalangan, sebab istilah fundamentalisme tanpa disertai definisi yang jelas dan pada akhirnya berujung kepada proses stigmatisasi terhadap sebagian kalangan muslim yang berjuang menegakkan syari’at Islam[7]. Bagi Cak Nur iman dan aqidah adalah suatu hal yang bebeda, iman menuntut sikar rendah hati, salalu terbuka bagi semua informasi kebenaran tetapi sekaligus juga dinamis untuk mengejar kebenaran itu dari sumbernya, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri yang oleh al-Qur’an, Dia Yang Maha Benar itu disebut Allah.
Sementara itu akar dari sekuleralisme merupakan modernisasi yang diorentasikan pada rasionalisasi pemikiran secara sistematis dan efisien[8]. Dan Islam pada hakikatnya tidak berbicara tentang bentuk negara maupun proses perpindahan kekuasaan seperti otoritas kaum fundamental. Tetapi doktrin qur’an menyebutkan bahwa negara yang baik penuh dengan ampunan Tuhan karena kesatuan umat yang universal bukan Islamic States[9], hal ini sesuai dengan firman Allah:
يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: 13)
b. Teologi ekslusivisme dan inklusivisme[10]
Teologi Ekslusivisme merupakan paham tertutup yang tidak mau menerima segala sesuatu yang datang dari luar golongannya. Poenjunjung pemikiran tersebut adalah para fundamentalisme yang menggaris bawahi bahwa dunia Islam terus menerus mengalami kemunduran karena sebab eksternal melalui invansi dan serangan kultural politik dan ekonomi barat maupun internal sebagai nilai serta pengaruh dari faktor eksternal[11].
Sedangkan inklusivisme adalah paham terbuka yang mau menerima segala yang (positif) datang dari luar. Orang-orang Eksklusif memandang orang lain berdasarkan keturunan, agama, ras, suku, dan golongan. Mereka tidak mau menerima orang yang dianggapnya tidak cocok dengan paham atau mazhab yang dianut alirannya. Hal ini kemudian akan menciptakan sebuah tindakan tertutup yang tidak mau menerima perubahan, kemajemukan, dan pluralisme agama (dalam konteks agama). Mungkin dalam Islam, sosok Al-Ghazali bisa dijadikan sebagai wakil dari sekian tokoh Islam yang menganut paham eksklusif ini. Dia sangat tertutup terhadap filsafat. Bahkan sampai-sampai dia mengeluarkan klaim ateis atau kafir terhadap tiga filosof muslim klasik secara terang-terangan dalam bukunya tahafutul falasifah. Sedangkan Teologi Inklusif sangat berbeda dari ekslusivisme di atas, inklusivisme memandang orang lain dengan lebih arif dan bijak. Orang-orang inklusif ini sangat menghargai adanya pluralisme, perbedaan, dan kemajemukan. Mereka memandang semuanya sama seperti dirinya sendiri. Politik pengkafiran pun tidak berkembang dalam paham ini. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa orang inklusif lebih mulia dari pada eksklusif. Jika di eksklusif ada al-Ghazali, maka tokoh utama yang menganut paham inklusif ini terpotret pada sosok Ibnu Rusyd. Beliau sangat menjunjung rasionalitas dan pluralitas, keberagaman dan kemajemukan, baik dibidang agama maupun budaya, dan nilai-nilai universalitas lainnya. Berangkat dari fenomena seperti itu, teologi inklusif adalah salah satu solusi yang solutif guna menghapus (mendekonstruksi) paham jumud dan ekslusif yang telah “membumi” dalam Islam di Indonesia. Dengan teologi inklusif ini, Islam dapat berkembang ke arah yang lebih baik dan maju. Maka dari itu, sekali lagi, untuk keluar dari keterupurukan dan keterbelakangan pemikiran yang kini mendera umat Islam di dunia dan di Indonesia khususnya, harus menjadikan teologi inklusif sebagai satu-satunya paradigma dalam menyikapi realitas. Teologi inklusif, dengan demikian, adalah suatu kemanusiaan universal yang dalam al-qur’an sesuai dengan firman Allah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَالدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم : 30)
Ayat ini memaparkan tentang wujud agama yang benar bagi setiap iman beragama karena
dalam kemajemukan terdapat satu kesatuan yang esoterik. Karena paham kemajemukan masyarakat adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham itulah dipertaruhkan, antara lain sehatnya demokrasi dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain atau ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati, sesuai dengan firman Allah:
dalam kemajemukan terdapat satu kesatuan yang esoterik. Karena paham kemajemukan masyarakat adalah bagian amat penting dari tatanan masyarakat maju. Dalam paham itulah dipertaruhkan, antara lain sehatnya demokrasi dan keadilan. Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain atau ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati, sesuai dengan firman Allah:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة: 8)
Jelas sekali bahwa bangsa kita akan memperoleh manfaat besar dalam usaha transformasi sosialnya menuju demokrasi dan keadilan jika pluralisme itu dapat ditanamkan dalam kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar warga negara. Secara intern, pluralisme adalah persyaratan pertama dan ukhuwah Islamiyah[12].
Nurcholis tampak berupaya melakukan deskontruksi makna Islam sebagai suatu nama agama dengan makna generik, yakni sikap pasrah dan kepatuhan terhadap hukum syari’ah[13]. Pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan kearah pluralis dengan menyatakan bahwa setiap agama mempunyai ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama ibarat roda yang berputar, pusat roda tersebut adalah tuhan yang sama melalui jalan berbagai agama yang heterogen tapi satu makna[14]. “Jadi Pluralisme adalah sunnatullah sebuah aturan khusus dari tuhan yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin juga dilawan atau diingkari.[15]”
C. Kritik Atas Pemikiran Nurcholis Madjid
Pada awalnya Nurcholis ingin menunjukkan banyak pengertian tentang sekularisasi yang dimodifikasi dari pemikiran Barat khususnya Harvey Cox dan Robert N. Bellah. Dengan memahamkannya melalui makna filosofis dan prinsipil bukan aplikasinya menurut syari’ah.
Budhy Munawar Rahman, ‘anak asuhnya’ dalam pemikiran-pemikiran keagamaan, mengkritik ide pluralisme Nurcholis yang berawal dari sekularisme berujung inklusifisme merujuk dalam bukunya Islam Pluralis. Rahman mengatakan bahwa titik tolak kesatuan pandangan tentang agama-agama (yang dalam istilah Firthjof Schuon mungkin boleh disebut filsafat perennial/perennial philosophy)
yang digagas Nurcholis, adalah jelas bersifat Islam, atau belum bersifat
universal jika dilihat dari sudut epistimologi agama-agama. Sehingga ‘teologi inklusifnya’ seolah-olah hanya merupakan proyeksi Islam atas agama lain. Walaupun memang berbagai konsep yang dikemukakan Nurcholis pada awalnya
memang hanya untuk konsumsi atau untuk memperluas pandangan umat
Islam-Indonesia (yang belakangan cenderung menyempit ke arah anggapan bahwa
agamanya sendiri yang paling benar), namun agar bisa memberi sumbangan dalam
proses dialog antar Iman, maka konsep-konsepnya perlu diperlebar lagi dengan
memberi perhatian terhadap agama-agama lain, dan tidak hanya berangkat dari
idiom-idiom Islam[16].
yang digagas Nurcholis, adalah jelas bersifat Islam, atau belum bersifat
universal jika dilihat dari sudut epistimologi agama-agama. Sehingga ‘teologi inklusifnya’ seolah-olah hanya merupakan proyeksi Islam atas agama lain. Walaupun memang berbagai konsep yang dikemukakan Nurcholis pada awalnya
memang hanya untuk konsumsi atau untuk memperluas pandangan umat
Islam-Indonesia (yang belakangan cenderung menyempit ke arah anggapan bahwa
agamanya sendiri yang paling benar), namun agar bisa memberi sumbangan dalam
proses dialog antar Iman, maka konsep-konsepnya perlu diperlebar lagi dengan
memberi perhatian terhadap agama-agama lain, dan tidak hanya berangkat dari
idiom-idiom Islam[16].
Kritik yang sangat keras dikemukakan oleh Nur Khalik Ridwan, peneliti jebolan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Melalui buku Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur), Khalik melakukan kajian kritis atas gagasan pluralisme Nurcholis. Khalik menganggap pemikiran Nurcholis, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezimkebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung dikultuskan, dan gagasannya “disakralkan”.
Maka dari itu, haram bagi kaum muslimin untuk mengadopsi konsep civil society, karena konsep ini adalah konsep kufur, yakni tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah jadi sekularisasi ataupun paham inklusifisme dari satu sisi memang memiliki kesamaan dengan pemberantasan bid’ah, khurafat dan pratik syirik[17].
Oleh sebab itu segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan harus dihancurkan, sesuai dengan Allah firman SWT :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maaidah : 44)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…”: (QS An Nisaa` : 60)
Pada hakekatnya sekularisai meletakkan tanggungjawab kedalam manusia untuk membina system nilai yang mengalami perubahan ataupun evolusi merujuk pada pengalaman hidup dan sosial masyarakat Kristen. Dengan tegas kami nyatakan, bahwa manusia sekuler akan mengesampingkan konsep-konsep Islam yang telah mutlak kebenarannya dengan rasionalisasi social yang memungkiri adanya eksistensi Tuhan di balik kehidupan duniawi ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dilihat dari biografi Nurcholis Madjid, yang mendukung dirinya untuk berkembang dalam pemikirannya tentang keilmuan dan pemikirannya terhadap pembaruan di dunia pendidikan dan keadaan masyarakat islam.
Dan pemikirannya sekular Nurcholis Madjid ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan masyarakat islam kearah yang modern tetapi tidak menghilangkan nilai Islam. Karena seperti yang ada masyarakat yang tradisional cenderung masih fanik dan tidak menerima keadaan yang sedang marak dan apabila menerima pun menjadi tidak terarah atau terhegomoni oleh moderenisasi kaum barat yang mengarah kepada liberal.
Perlu dimengerti bahwa kata sekuler berasal dari bahasa Inggris, Latin, Belanda dan lain-lain, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum artinya zaman sekarang ini. Sedangkan arti yang sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia atau waktu dan mundus adalah ruang. Menurutnya Sekuler merupakan istilah pararel dalam bahasa Yunani Kuno, Latin dan bahasa Arab.
Perubahan pemikiran Nurcholis yang modern, berawal dari pendidikannya di Amerika. Diintegrasikan dengan pola fikir Islami yang berakhir pada implementasi nilai-nilai Barat yang ia adopsi dari Robert N. Bellah dan Harvey Cox. Sementara asal usul gagasan sekularisasi dikerenakan evolusi agama Kristen yang bertransisi menuju rasionalisasi agama karena konflik konsep tuhan dan hidup mereka yang tidak jelas. Akhirnya nilai- nilai Islam disampingkan dalam kehidupan sosial melahirkan sekularisasi, inklusifisme dan pluralisme dalam Islam yang modern. Padahal semua itu merupakan bid’ah dalam Islam yang harus dihapuskan, karena berpaling dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kehidupan duniawi.
Daftar Pustaka
· Armas, Adnin M.A, Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003). ———————-,
dkk, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal
Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume
4, No.2, Jumadal Ula 1428).
dkk, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal
Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume
4, No.2, Jumadal Ula 1428).
· Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta Timur: Hujjah Press 2007).
· Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005).
· Jaringan Islam Liberal, Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005).
· Madjid, Nur Cholis, Islam Doktrin dan Peradaban,
(Jakarta: Paramadina, 2005).
(Jakarta: Paramadina, 2005).
[1] Abdul Qodir, M.Ag, Jejak Langkah Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 105-107.
[2] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta Timur: Hujjah Press 2007), hal. 62-64.
[3] Karl Barth, Ethics, (New York: The Seabury Press, 1981) dan dikutip oleh Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2005).
[5] Adnin Armas, dkk, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume 4, No.2, Jumadal Ula 1428), hal. 399.
[6] Jaringan Islam Liberal, Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 61-62.
[8] Abdul Qodir, M.Ag, Jejak Langkah Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2004).
[9] Ibid, hal. 143-144.
[10] http://rizemweb.blogspot.com/2008/03/membumikan-teologi-inklusif-oleh-rizem.html.
[13] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlaq Qur’an Meyikapi perbedaan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 38.
[14] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal, …………ibid, Hal. 70-72.
[15] Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995). Hal. Lxxvii.
[16] http://www.gaulislam.com/konsep-civil-society-dalam-perspektif-islam-sebuah-tinjaun-ideologis.
[17] Adnin Armas, dkk, Menelusuri Gagasan Sekularisasi Nurcholis Majid, Jurnal Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam, ( Volume 4, No.2, Jumadal Ula 1428), hal. 413-414.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar