Jumat, 14 Oktober 2011

AKHLAK TASAWUF


TUGAS MAKALAH
AKHLAK TASAWUF

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akhlak Tasawuf


Dosen Pembimbing:
Nurul Yaqien, M.Pd

Disusun oleh: Kelompok 7
Muhammad Anis Yahya (10110263)
Hasbi Zakiya Ruhma (10110265)
Muthalibin (10110264)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010
KATA PENGANTAR

            Dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan ridhonya saya bias menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “AKHLAK TASAWUF”. meskipun di dalamnya terdapat kekurangan karena memang kesempurnaan hanyalah milik Allah.
            Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang tahu akan pengetahuan seperti sekarang.
            Dan tak lupa ucapan terima kasih penulis haturkan kepada orang tua yang selalu mendukung dan memberikan dorongan dalam berbagai bentuk dan kepada Nurul Yaqien, M.Pd yang telah banyak cara termasuk dengan pembuatan makalah ini sehingga penulis mengerti akan banyak ilmu.
            Saya menyadari bahwa selaku mahasiswa saya masih memiliki kemampuan yang masih sangat terbatas. Untuk itu saya mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat ketidak sempurnaan. Untuk terakhir kalinya semoga dengan adanya makalah yang cukup sederhana ini dapat kita ambil manfaatnya. Amin..



Malang, 23 Desember 2010
Penulis









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I MAHABBAH
A.    PENNGERTIAN MAHABBAH
B.     TOKOH-TOKOH MAHABBAH
C.     ANALISA KELOMPOK 7
D.    PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
E.     KESIMPULAN
BAB II MA’RIFAT
A.    PENNGERTIAN MA’RIFAT
B.     TOKOH-TOKOH
C.     ANALISA KELOMPOK 7
D.    PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
E.     KESIMPULAN
BAB III AL-FANA’ DAN AL-BAQA’
A.    PENNGERTIANAL-FANA AL-BAQA
B.     TOKOH-TOKOHAL-FANA AL-BAQA
C.     ANALISA KELOMPOK 7
D.    PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
E.     KESIMPULAN
BAB IV AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
A.    PENNGERTIANAL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
B.     TOKOH-TOKOHAL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
C.     ANALISA KELOMPOK 7
D.    PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
E.     KESIMPULAN
BAB V WAHDATUL AL-WUJUD.
A.    PENNGERTIANWAHDATUL AL-WUJUD
B.     TOKOH-TOKOHWAHDATUL AL-WUJUD
C.     ANALISA KELOMPOK 7
D.    PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
E.     KESIMPULANWAHDATUL AL-WUJUD


BAB VI TORIQAH QODARIAH DAN NASKABANDIYAH
A.    PENNGERTIANTORIQAH QODARIAH DAN NASKABANDIYAH
B.     TOKOH-TOKOH TARIQAH QODARIAH
C.     TOKOH-TOKOH TARIQAH NASKABANDIYAH
D.    ANALISA KELOMPOK 7
E.     PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
F.      KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
MAHABBAH

A.      PENGERTIAN MAHABBAH
Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi. Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT.
Cinta Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.
B.       TOKOH-TOKOH MAHABBAH
1.    Imam al Qusyairi
Adalah pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab). Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.
2.    Al Junaidi Al Baghdadi
Menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.
3.    Abu Nasr as Sarraj at-Tusi
Adalah  seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
C.      ANALISA KELOMPOK  7
Menurut kami, memandang dari konsep ajaran mahabbah, yang mengajarkan tentang bagai mana cara seorang hamba menyayangi samg kholiq, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Adalah modal awal untuk kita agar bisa dekat dan menjadi kekasih Allah atau yang biasa di sebut dengan seorang sufi.
Tapi sebagian dari mereka juga sangatlah berlebihan sampai semuanya ada pada dirinya adalah milik Allah, dirinya tidaklah punya hak terhadap apasaja tentang diri sendiri. Sampai menikah itu harus izin dulu kepada Allah. Kalau dilogikakan tentang jodoh, kaya, miskin, dan maut sudah ditetapkan oleh Allah, dan kita tidak bisa merubahnya kita hanya bisa berusaha dan ketentuan kembali kepada Allah.
D.      PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Kebanyakan dalam masa sekarang masyarakat lebih cenderung kepada pemikiran logika. Kalau kita harus berusaha baru mendapatkan apa yang menjadi haknya. Seperti konsep yang di paparkan di atas tentang mahabbah, mungkin masyarakat akan menerima tentang bagaimana manusia itu harus sayang kepada Allah dan menjalankan semua perintahnya meninggalkan larangannya, itu sudah menjadi kodratnya menjadi hamba Allah yang beragama islam, tapi tidak sepenuhnya  terserahkan pasrah kepada sang kholiq. Melainkan lebih kepada berusaha dulu.
Kalau pandangan sekarang apabila seorang akan menyerahkan semua nasibnya kepada sang kholiq dan tidak ada usaha yang dilakukannya untuk mewujudkan kodratnya sebagai manusia yang mempunyai akal. Akan dianggap kalau orang itu adalah seorang pemalas yang tidak mempunyai semangat hidup.
E.       KESIMPULAN
Mahabbah adalah perasaan rasa cinta kasih kepada sang kholiq. Merupakan dasar untuk menjadi seorang sufi. Mahabbah sifatnya masih umum dapat diajarkan kepada masyarakat awam merupakan landasan keimanan dan ketaqwaan seseorang.
Tiga fase ajaran mahabbah : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Mahabbah sendiri dalam penerapannya pada mahabbah robbiah adalah dimana seoranng yang sudah menyerahkan segala sesusuatunya kepada Allah sudah mendekati ma’rifat. Kenapa sampai segalanya terserahkan kepada Allah karena memang baginya dunia sudah tidak penting lagi baginya.

BAB II
MA’RIFAT

A.      PENGERTIAN MA’RIFAT
Ma’rifat artinya pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.
Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT.
Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
B.       TOKOH-TOKOH MA’RIFAT
a.         Zunnun Al-Misri
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.
Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
b.        Abu Bakar al-Kalabazi
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
·           Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
·           Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
·           Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah:
·           Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
·           Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.
·           Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.
Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.
Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”.
c.         Jalaluddin Rahmat
Menegaskan secara tekstual bahwa al-Araf adalah dinding  antara surga dan neraka “Di dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada siksa” (Q.S 57 : 13) yakni disebelah dalamnya  –yang terletak berdekatan dengan surga– ada rahmat, dan disebelah luarnya dari situ ada siksa neraka, yang terletak di dekat sisi tersebut. Di atasnya adalah meraka yang perbuatan buruk dan baiknya seimbang pada timbangan (pengadilan) mereka, sehingga meraka melihat ke neraka dengan satu mata mereka dan melihat ke surga dengan mata  yang lain
d.        Al-Muhasibi
Juga berbicara pula tentang Ma’rifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan agama, dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hadits Nabi yang berbunyi, “pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya”. Berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits senada, al-Muhasibi mengatakan bahwa Ma’rifat harus ditempuh dengan tasawuf yang berlandaskan Assunah.
e.         Harun Nasution (1919)
Sebagaimana dengan Mahabbah dan Ma’rifat,. Para sufi terdahulu menyebutkan Ma’rifat merupakan Ahwal (keadaan), dan al-Qusyriyah menyebutkan, Ma’rifat merupakan Maqam. Juga berlainan urutan yang diberikan kepada Ma’rifat dalam susunan yang terdapat dalam buku-buku Tasawuf. sedangkan al-Ghazali dalam Ihya memandang bahwa Ma’rifat datang sesudah Mahabbah, ada juga yang berpendapat bahwa Ma’rifat dan Mahabbah datang secara beriringan dengan kata lain Ma’rifat dan Mahabbah merupakan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan.
C.      ANALISA KELOMPOK 7
Menurut kami ma’rifat adalah cara bagaimana kita mengenal Allah. Yaitu dengan cara menyerahkan segalanya kepada Allah dalam segalahal. Bagi merka kehidupan duniawi sudah tidak penting lagi. Cara pandang mereka menggunakan mata batinnya karena perasaan mereka sangatlah peka, dapat disebut pula kalau mereka mempunyai indra keenam.
D.      PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Dalam era moderenisasi yang terkontaminasi dengan adat kebaratan. Membuat masyarakat sekarang mengubah cara berfikirnya yang dulu agama yang no satu sekarang menjadi kalau semuanya harus berusaha dulu dan hasilnya memang sudah adaketentuan hasil dari sang khaliq, apakah baik ataupun kegagalan.
Untuk menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Allah sangatlah sedikit dari masyarakat pada sa’at ini. Misalnya dalam suatu daerah itu hanyalah sebagin kecil saja bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Karena telah berbeda pandangan yang membuat masyarakat menjadi seperti saat ini.
E.       KESIMPULAN
Ma’rifat sudah mengkususkan dirinya hanya untuk kepada Allah tidak ada yang lain yang bisa memalihkan pandanganya. Orang-orang yang sudah pada makam ini mulai tidak dapat difahami kebiasaannya yang memang sudah beda dengan masyarakat awam.
Kekususannya ditandai dengan cara beribadahnya dan tingkah lakunya yang beda dengan orang-orang pada umumnya, dan kita tidak boleh berburuk sangka terhadap mereka. Karena beda dengan kita nantimkita menghakiminya yang tidak-tidak.



BAB III
Al-FANA’ dan AL-BAQA’

A.      PENGERTIAN FANA’ dan AL-BAQA’
Secara logawi, fana' berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa' berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari fana'). Fana' dan baqa' merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya fana' menunjukkan adanya baqa'. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan: "The complement and consummation of death to self (fana') is everlasting life in God (baqa')" Yakni, "Kelengkapan dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi didalam wujud Tuhan (baqa)". Hal ini memang dapat dilihat dari fahamfaham sufi berikut :
·           Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
·           Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
·           Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.
Dalam istilah tasawuf, fana' berarti penghancuran diri yaitu al-fana''an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana' 'an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Al-Qusyairi tentang ini mengatakan Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi pengertian fana' ini sebagai berikut :
·           Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud kemanusiaannya.
Dalam hal pengertian fana' ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur berarti :
·           Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa.
Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass away from self (fana') is to realize that self does not exist, and that nothing exista except God (tauhid)".
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana' kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a.         Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian nafsu dan keinginan.
b.         Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi, pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat- Nya.
c.         Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal "kefanaan dari fana" atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana' al-fana') (R. A. Nicholson, 1975: 60-61). Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana' adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves baqa', the continuance of his real existence. He who dies to self lives in God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or baqa', or union with the divine life" Yakni, "Fana.
Sernuanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi".
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana' sebagai "sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”.
Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fana' 'an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujud-Nya. Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :
B.       TOKOH-TOKOH AL-FANA’ AL-BAQO’
Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: "bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah.".
Masa Remaja
Kakek Abu Yazid al Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. "Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya" , ibunya sering berkata pada Abu Yazid, "engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali". Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur-an. pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, "Berterimakasihlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang,. Ada yang hendak kukatakan pada ibuku". Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang kerumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata,"Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?" "Tidak" jawab Abu Yazid "Pelajaranku sampai pada ayat dimana Alloh memerintahkan agar aku berbakti kepadaNya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Alloh sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Alloh semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata". "Anakku" jawab ibunya "aku serahkan engkau kepada Alloh dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.
Abu Yazid Albustami, nama kecilnya ialah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendirian Abu Yazid ini. Beliau pernah berkata : "Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari'at". Dengan perkataan beliau yang seperti ini jelaskan bahwasanya tasauf beliau tidaklah keluar dari garis syara'. Artinya tasauf yang senantiasa diukur dengan contoh teladan yang ditinggalkan Nabi dan tidak memilih jalan sendiri diluar agama. Tetapi, selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat kata-kata Abu Yazid yang "ganjil" dan dalam, yang semestinya hati-hati memahamkannya.
·           Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup
Dan katanya pula :
·           Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup, …aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup.
Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana' 'an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana' 'an al-nafs.
Konsep fana' merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana' yang artinya hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana' ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik.
Sementara konsep al-baqa' adalah kelanjutan dari pengertian al-fana yang berarti 'tetap', terus hidup (to remain persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri Tuhan itu. Jadi konsep baqa' dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik. Untuk memahami lebih lanjut, dikatakan nahwa pengertian al-fana di sini bagi sufi adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini: "Fana seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya."
Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana' an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa') wujud rahaniahnya saja, dan ketika itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan.
C.      ANALISA KELOMPOK 7
Fana’ dan baqo adalah sebuah makna yang mengandung arti berhubungan, yang mana apabila kita ingin menjadi kekasih Allah yang sifatnya kakal maka harus menghancurkan sifat-sifat kemungkarannya. Karena sesungguhnya yang kekal hanyalah zat Allah. Dan apa bila manusia ingin kekal dalam artian wujud rohaninya maka ia harus dapat menghancurkan sifat-sifat kasar baik secara fisiologis ataupun yang lain sampai ia dapat hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makluk yang lain, yang ada pada dirinya hanyalah wujud (baqa) wujud rohaninya saja, dan setelah itu ia dapat bersatu dengan tuhan.
Dalam hal ini orang yang sudah mencapai maqom ini mereka sudah tidak merasa lagi tentang keadaan dirinya dan makhluk disekitarnya. Yang ia rasa hanyalah ruhaninya saja yang bersatu dengan tuhannya.
D.      PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Kalau ditinjau secara global tentang keadaan alam dan sifat  masyarakat yang ada saat ini. Sangatlah sulit penerapannya mungkit dalam satu kota hanyalah beberapa orang yang mampu menerapkan ajaran yang seperti ini dan itupun dapat dihitung dengan jari. Karena pada era moderenisasi yang terjadi saat ini, kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat mistis sangat lah sedikit.
Orang yang mencapai maqom ini sepertinya orang-orang kusus yang memang dipilih Allah untuk menjadi kekasihnya yang kekal, bukanlah smbarang orang kalau semua orang mencapai maqom ini siapa yang akan mengurusi dunia ini.
E.       KESIMPULAN
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani dipandang sebagai pencetus tahun fana', baqa' dan ittihad, fana ' dan baqa' merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad itu barutercapai setelah melewati fana dan baqa. Fana' yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan ujud dirinya (al-fana 'an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana 'an al-Khaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana' (al-fana 'an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannay terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu dengan Allah (ittihad) Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini.
Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1.         Tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap menerimanya.
2.         Memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan nalar intelik.
3.         Pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya berlangsung dua jam.
4.         Terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.
Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi', ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir al-sya'n, yaitu kata "an" yang berarti "bahwa" dalam kalimat syahadath pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.



BAB IV
AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL

A.      PENGERTIAN AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
1.      Al-Hulul
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan. Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indera yang sempurna. Bahkan dalam kronologi penciptaannya, sengaja Allah memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda.
Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling mendukung.Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi penciptaannya berasal dari tanah.1 Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke tanah.K edua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.2 Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah.
2.      Al-Ittihad
Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”.
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatanfan a’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus manarus.
Setelah Abu Yazid mengalamik e-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar.
Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana.

B.       TOKOH-TOKOH AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL
1.      Imam Ibnu Al-Araby SUFI (Mangsa Takfir)
Syeikhul Akbar  Muhyiddin Ibnu Al-Arabiy Seorang ulama sufi yang menjadi mangsa takfir
Ramai dikalangan penuntut ilmu yang mendapat maklumat kurang tepat mengenai Syeikh Ibnu Al-’Arabiy atau juga dikenali sebagai Syeikh Ibnu ‘Arabiy (tanpa alif lam ta’rif AL), ini berlaku kerana permulaan bacaan dan maklumat mereka mengenai Syeikh tersebut diambil dari penulisan yang dibacaa sekerat-sekerat tanpa kajian yang mendalam terutama yang memfitnah Syeikh Ibnu Al-’Arabiy sebagai berakidah HULUL dan ITTIHAD sedangkan Syeikh Ibnu Al-Arabiy tersangat jauh dari akidah tersebut.
Maklumat ringkas mengenai Syeikhul Akbar Sufi Muyhiddin Ibnu Al-’Arabiy:
Beliau adalah Syeikhul Akbar Muhyuddin Ibnu Al-’Arabiy Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Al-Hatimiy At-Toiy dari keturunan Abdullah bin Hatim saudara kandung kepada sahabat Nabi ‘Udaiy bin Hatim.
Digelar sebagai Muhyiddin dan diberi kunyah sebagai Abu Abdillah dan juga Abu Bakar. Dikenali dengan Al-Hatimiy, At-Toiy dan juga dikenali sebagai Ibnu ‘Arabiy (tanpa alim lam ta’rif AL) dan di Maghribiy beliau terkenal dengan kunyah Ibnu Al-’Arabiy(dengan alim lam ta’rif AL). Terkenal juga dengan panggilan Sultan ‘Arifin dan Imam Muttaqin dan sebagainya dari gelaran yang sememangnya layak untuk beliau setelah pengkaji meneliti hakikat beliau sebenar. Dilahirkan pada malam Isnin 17 Ramadhan tahun 560H di Andalusia. Meninggal pada tahun 638H Rahimahullah.
2.         Ibnu ‘Arabiy Ke Ibnu Al-’Arabiy
Kekeliruan pada gelaran beliau juga berlaku dan ini turut menunjukkan beberapa isi kandungan kitab karangan beliau juga tidak terlepas dari tokok-tambah dusta dan nista dari golongan Musyabbihah Mujassimah yg mahukan fitnah berterus terhadap umat Islam.
Gelaran atau kunyah untuk beliau setepatnya adalah IBNU AL-’ARABIY
( ابن العربي ) iaitu dengan alif lam ta’rif, apabila ditulis terdapat AL pada permulaan perkataan ‘ARABIY menjadikan ejaan Al-’ARABIY atau apabila disebut secara sambung (wasal) menjadi IBNUL ‘ARABIY. Ini kerana beliau sejak kecil lagi sudah terkenal dengan gelaran sedemikian ditambah pula kebanyakan bapa saudara beliau dan datuk-datuk beliau turut digelar sebagai AL-’ARABIY. Begitu juga kitab-kitab karangan beliau sendiri menulis nama sebagai IBNU AL-’ARABIY.
Ya, sememangnya disana ada seorang lagi ulama yang juga digelar sebagai IBNU AL-’ARABIY iaitu Al-Qodhi Muhammad bin Abdullah IBNU AL-’ARABIY Al-Ma’firiy Al-Malikiy lahir pada 468H pengarang kitab Qonun Ta’wil tetapi ia tidak menjadi penghalang untuk mengelarkan yang lain sebagai nama tersebut. Dalam Artikel ini hanya menceritakan Imam Ibnu Al-’Arabiy atau Ibnu ‘Arabiy yang Syeikh Sufi tu atau lebih dikenali dengan Imam Muhyuddin Ibnul ‘Arabiy. Tidak ada masaalah sekiranya sekejap beliau digelar sebagai IBNU ‘ARABIY kemudian IBNU AL-’ARABIY pula kerana kedua-duanya adalah gelaran bagi beliau.
3.         Hulul dan Ittihad bukan aqidah Imam Ibnu Al-Arabiy
Akidah Hulul adalah akidah sesat yang mendakwa zat Allah berada didalam diri makhluk dan makhluk berada didalam diri Allah. Akidah Ittihad pula adalah akidah sesat yang mendakwa semua yang ada ini makhluk dan Allah adalah bersatu antara satu sama lain. Kedua-duanya lebih kurang sama dan sesat.
Manakala tuduhan akidah hulul, ittihad dan pelbagai lagi akidah batil terhadap Imam Ibnul ‘Arabiy adalah satu fitnah yang membawa kepada pentakfiran antara satu sama lain dan fitnah yang besar sehingga ke hari ini. Ramai yang keliru termasuk beberapa para pengkaji dan ini penjelasan ringkas saya (Abu Syafiq) atas segala kekeliruan itu :
Kebanyakan isi kandungan kitab-kitab Imam Ibnu Al-’Arabiy sebenarnya telah ditokok tambah dengan pengisian yang terpesong dari ajaran Islam sebenar. Ia bukanlah tulisan Imam Ibnul ‘Arabiy bahkan beliau berlepas tangan dari segala itu.
4.         Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya’roniy
Berkata dalam kitabnya berjudul Al-Yawaqit Wal Jawahir Fi ‘Aqoidil Akabir m/s 9:
” Segala isi kandungan kitab Ibnul ‘Arabiy yang bertentangan dengan syariat Islam dan bertentangan dengan jumhur ulama maka ketahuilah bahawa ianya adalah palsu, dusta dan ditokok-tambah oleh musuh-musuh Islam. Syeikh Sayyidy Abu At-Tohir Al-Maghribiy di Mekah juga telah memberitahu aku sedemikian dan beliau membawa kepada aku naskhah asal kitab Imam Ibnul ‘Arabiy yang berjudul Al-Futuhaat Al-Makkiyah yang diterima dari naskhah asal di Madinah Quniyyah maka aku dapati isi kandungannya tidak langsung terdapat akidah yang pernah aku lihat (hulul dan ittihad) dan ianya selari dengan apa yang aku telah ringkaskan dari kitab Al-Futuhaat “.
5.         Imam Ibnu Al-’Arabiy
dikatakan berakidah Hulul atau Ittihad sedangkan beliau sendiri terkenal menolak akidah tersebut dan akidah-akidah batil yang lain dan beliau terkenal sebagai seorang yang menyebut kenyataan menolak kedua akidah batil tersebut dengan :
من قال بالحلول فدينه معلول، وما قال بالاتحاد إلا أهل الإلحاد
Maksud kenyataan Ibnu Al-’Arabiy tadi : “Sesiapa yang berakidah Hulul maka agamanya terpesong, dan tidak berakidah Ittihad melainkan orang itu mulhid”.
Rujuk kitab Al-Futuhaat AL-Makkiyah pada Bab Al-Asrar dan pada Bab Yang Ke 559 yang telah dinyatakan oleh Asy-Sya’roniy. Amat jelas Imam Muhyiddin Ibnu Al-’Arabiy menolak akidah Hulul dan Ittihad.
Maka segala fitnah terhadap beliau atas tuduhan berakidah Hulul dan Ittihad hendaklah dihentikan dan perlu dibezakan antara As-Sufi Imam Muhyiddin Ibnul ‘Arabiy dengan golongan yang mengaku sufi ataupun yang mengaku pengikut Imam Ibnu ‘Arabiy tetapi hakikatnya sufi dan Ibnu ‘Arabiy amat jauh dengan mereka.
6.        Dakwaan kufur terhadap Ibnu Al-Arabiy
Sememangnya ada beberapa insan yang mengkafirkan Imam Ibnu Al-’Arabiy ini atas salah anggap tulisan terpapar yang dibaca. Pelik juga pentakfiran terhadap Imam Ibnul ‘Arabiy tidak terkenal berlaku pada zaman beliau tetapi selepas puluhan tahun kematian beliau. Berbeza dengan keadaan Ibnu Taimiyah yang mana ulama Islam menghukum Ibnu Taimiah sebagai kafir terkeluar dari akidah islam adalah dari kalangan ulama Islam yang hidup dizaman Ibnu Taimiyah sendiri bahkan para tuan kadi dari keempat-empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafie dan Hambali) telah menghukum kufur terhadap Ibnu Taimiyah dizaman Ibnu Taimiah sendiri.
Ini juga menunjukkan penghukuman kufur/sesat terhadap Imam Ibnu ‘Arabiy oleh sebahagian insan adalah tidak berbukti yang tepat, hanya sekadar melihat pada buku yang telahpun dicetak yang sememangnya telahpun ditokok-tambah oleh musuh Islam sedangkan naskhah asal kitab Imam Ibnu ‘Arabiy tidak tertera akidah sesat tersebut.
Lihat sahaja bagaimana mereka mengkafirkan Imam Ibnu ‘Arabiy atas dakwaan kononnya Ibnu ‘Arabiy berakidah manusia itu Tuhan Tuhan juga adalah manusia lantas menuduh Ibnu ‘Arabiy berkata “hamba itu adalah Tuhan” sedangkan apabila kita melihat naskah kitab asal beliau terdapat ayat yang amat berlainan pada syi’ir yang didakwa.


C.      ANALISA KELOMPOK 7
Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana.
D.      PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Untuk menerapkan konsep ini haruslah melewati fase-fase atau tahap yang harus dilewati tidak langsung bisa diterapkan. Kalau orang langsung menerapkannya orang akan menjadi sesat atau musrik.
Kebanyakan sekarang yang harus diterapkan adalah konsep dasar penyadaran, dan setelah itu mungkain akan menginjak masa-masa sesudahnya ibaratnta alir akan menangalir.
E.       KESIMPULAN
Demikianlah dalam pandangan Al-Ittihad dan Al-Hulul bahwa Tuhan dan manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia berhasil menghasilkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkan lewat berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari keridloan Allah, maka dipastikan ia akan bisa bertemu dan menyatu dengan sifat Allah.
Sebaliknya, apabila manusia tanpa mau berusaha menghilangkan atau melenyapkan sifat kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan akan bertemu dan menyatu dengan Allah.


BAB V
WAHDATUL AL-WUJUD

A.      PENGERTIAN WAHDATUL AL-WUJUD
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri- Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah 'harta simpanan' (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigmat asy bîh danta nzî h yang digunakan Ibn Arabi. Dari segitas, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segit anz îh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas, Ibn Arabi menyatakan 'Huwa la Huwa' (Dia bukan Dia --yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan- Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan 'bayangan-Nya', bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke Islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu salat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan.
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
B.       TOKOH-TOKOH WAHDATUL WUDUD
1.         Ibn Arabi
Lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi, lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy. Menurut Affifi, Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalah tokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik. Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi sebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus --dan di makamkan disana- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/ Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al- Qur'an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya-- mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan. Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yang terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun.
Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126- 1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran; sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar, menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman- pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud. Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada dinasti Murabbitin. Kemudian pergi ke Fez dan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199 M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa karya tulis, seperti Mawâqi' al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehingga ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.
Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al- Futuhât al-Makkiyah, disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia- rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w. 630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif. Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M). Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futûhat al-Makkiyah, dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam, di samping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia, Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalahal- Fu tû h â t al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam, yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.
2.         Syeh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti (Hidayat, Atif, 2009. atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/ diakses tanggal 10 Maret 2009).
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Di dalam Babad Jaka Tingkit diceritakan bahwa Siti Jenar memasrahkan diri sepenuhnya terhadap utusan para wali untuk menghukum mati dirinya. Siti Jenar dikenai hukuman pancung. Tapi, ada yang aneh, kepala terlepas dari badan itu mampu bicara dan memanggil semua darah yang menyembur itu untuk kembali lagi ke tubuh dan tidak boleh ada yang masih tercecer. Semua darah seakan dihirup lenyap, tiada jejak, dan kepala menempel lagi pada tempatnya. Sempurna, tiada berbekas.
C.      ANALISA KELOMPOK 7
Dalam ajaran ini hanyalah orang-orang tertentu yang sudah mencapai maqom ini saja yang boleh mempelajarinya apabila sampai salah arah sedikit saja dalam penyampainyannya akan menjadi seorang yang dianggap sesat. Pada inyinya ajaran ini hanya kusus orang-orang tertentu. Seperti yang terjadi pada kasusnya Shekh siti jenar, karena salah penyampaiyan ajarannya kepada masyarakat awam maka ia harus dibunuh karena dapat menyesatkan orang banyak.
D.      PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Tidak sembarang orang yang menerapkannya. Apabila semua orang menerapkan maqom ini dunia mungkin terlihat aneh tidak ada aktivitas yang mewarnai kehidupan ini. Kehidupan akan terasa hampa seperti tiada penghuninya.
Dan dari kebiasaan masyarakat sekarang yang sangat memburu kakayaan dunia sudah terlihat jelas bagaimana bisa diterapkan, kalau tidak memang mempunyai latar belakang yang mengarah kepada ajaran tersebut, apa bila hanya orang awam saja kehidupan dunia akan menjadi hancur tidak ada keseimbangan alam yang terjadi.
E.       KESIMPULAN
Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah 'patokan' segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkrit ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.
Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiranittihâ d (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1) Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta (al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya keesaan.42 Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata uang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan Pencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.
Konsep ini selangkah lebih 'berani' dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nya bukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh selain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.



BAB VI
TORIQOH QODIRIYYAH dan TORIQOH NAQSYABANDIYAH

A.      PENGERTIAN TORIQOH QODIRIYYAH dan TORIQOH NAQSYABANDIYAH
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syekh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syekh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syekh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syekh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.
Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin. Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.
B.       TOKOH-TOKOH TORIQOH QODIRIYYAH
1.      Allah
2.      Sayyidina
3.      Jibril AlaiHhis-salam  Bertalqin dan berbai’at dari : 
4.      RosuulullaaHh Muhammad saw  Bertalqin dan berbai’at dari : 
5.      Al Arif BillaaHh Sayyidina Ali KarromallaaHhu WajHhaHh
Bertalqin dan berbai’at dari :  Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan AllaaHh kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
6.      Al Arif BillaaHh Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anHhu Bertalqin dan berbai’at dari : 
7.      Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
8.      Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Imam Muhmmad Baqir Bertalqin dan berbai’at dari : 
9.      Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq Bertalqin dan berbai’at dari : 
10.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym Bertalqin dan berbai’at dari : 
11.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo Bertalqin dan berbai’at dari : 
12.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al Karkhi Bertalqin dan berbai’at dari : 
13.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi Bertalqin dan berbai’at dari :
14.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al Baqhdadiy Bertalqin dan berbai’at dari : 
15.  14. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As Shibliy Bertalqin dan berbai’at dari : 
16.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al Tamimi Bertalqin dan berbai’at dari : 16. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abul Faraj Al Thurthusiy Bertalqin dan berbai’at dari : 
17.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al Hakariy Bertalqin dan berbai’at dari : 
18.  18. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al Mubarrok Bertalqin dan berbai’at dari : 
19.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al Jiylani Bertalqin dan berbai’at dari : 
20.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz Bertalqin dan berbai’at dari : 
21.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki Bertalqin dan berbai’at dari : 
22.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
23.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
24.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
25.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
26.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn Bertalqin dan berbai’at dari :
27.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
28.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Yahya Bertalqin dan berbai’at dari : 
29.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Bakar Bertalqin dan berbai’at dari : 
30.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym Bertalqin dan berbai’at dari : 
31.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Utsman Bertalqin dan berbai’at dari : 
32.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
33.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah Bertalqin dan berbai’at dari : 
34.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Murod Bertalqin dan berbai’at dari : 
35.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn Bertalqin dan berbai’at dari : 
36.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy Bertalqin dan berbai’at dari : 
37.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh HasbullaaHh Madura Bertalqin dan berbai’at dari : 
38.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso Bertalqin dan berbai’at dari : 
39.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy At Tamimimiy Bertalqin dan berbai’at dari : 
40.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al Ishaqi Bertalqin dan berbai’at dari : 
41.  Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi Bertalqin dan berbai’at dari : 

C.      TOKOH-TOKOH TORIQOH NAQSYABANDIYAH
Allahumma Shalli ala saidina Muhammad wa’ala alihi washabihi ajma’in maka inilah mula-mula Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, maka mewahyukan Allah Ta’ala kepada Jibril As. rahasia yang amat halus, disuruh berikan kepada Hambanya yang suci dan putus pengenalannya dan kuat yakin, kemudian maka turun Jibril ke Dunia, diberikan rahasia itu kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, dan daripadanya turun kepada sahabatnya: 
1.      SAIDINA ABU BAKAR SIDDIQ Ra, dan dari padanya turun kepada:
2.      SAIDINA SULAIMAN Ra, Saidina Sulaiman itu setengah dari keluarga Rasulullah SAW, dan daripadanya turun kepada: 
3.      SAIDINA SALMAN AL FARISY Ra, dan daripadanya turun kepada Imam:
4.      SAIDINA QASIM Ra, anak Saidina Abu Bakar Siddiq Ra, dan daripadanya turun kepada: 
5.      IMAM JAKFAR MUHAMMAD SYARIF Ra, dan adalah Imam Jakfar itu anak cucu Saidina Ali KW, dan daripadanya turun kepada Sultan Arifin Syekh Taifur anak Aisyah, namanya yang masyhur:
6.      SAIDI SYEKH ABI YASID AL BUSTAMI Qs, dan daripadanya turun keramat beberapa Aulia Allah, yaitu: 
7.      SYEKH ABIL HASAN KHARQANI Qs, dan daripadanya turun kepada sekalian kutub, yaitu: 
8.      SYEKH ABI ALI SOMAD BIN SYEKH YUSUF HAMDANI Qs, dan daripadanya turun kepada wali: 
9.      SYEKH ABDUL KHALIQ FAJDUANI Qs, dan daripadanya turun kepada kutub sekalian Aulia Allah, yaitu: 
10.  SYEKH ARIF RIUKARI Qs, dan daripadanya turun kepada Hambanya Kepada sekalian Guru-guru, yaitu: 
11.  SYEKH MUHAMMAD WALJIRI FAKNAWI Qs, dan daripadanya turun kepada Wali Arfani yang sangat kasih akan Tuhannya yang Ghani, yaitu: 
12.  SYEKH LALAL RAMAISIR Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian Aulia Allah, yaitu: 
13.  SYEKH BABA SAMASI Qs, dan daripadanya turun kepada Raja yang besar lagi saidi, ialah Kepala sekalian Guru-guru, yaitu: 
14.   SYEKH SAID AMIN KILALI Qs, dan daripadanya turun kepada Aulia yang masyhur keramatnya dan makmur, ialah imam Thariqat Naqsabandiyah, Namanya: 
15.  SYEKH MUHAMMAD BAHAUDDIN BUKHARI Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian Kutub Syekh Muhammad Bukhari, Namanya yang masyhur: 
16.  SYEKH ALAUDDIN ATHARI Qs, dan daripadanya turun kepada: 
17.  SYEKH ABDUL ALAHRAR RASMIPANDY Qs, dan daripadanya turun kepada Raja yang salih, ialah kepala sekalian Guru-guru, yaitu: 
18.  SYEKH MUHAMMAD SYUHDI Qs, dan daripadanya turun kepada anak saudaranya yang besar dan martabat yang tinggi, yaitu: 
19.  SYEKH MUHAMMAD DURSI Qs, dan daripadanya turun kepada anak Raja yang alim lagi lemah lembut perkataannya, yaitu: 
20.  SYEKH MAULANA KHUJUKKI Qs, dan daripadanya turun kepada Aulia yang kutub: 
21.  SYEKH MUHAMMAD BAQI Qs, dan daripadanya turun anak cucu Saidina Umar Ra, yang masyhur namanya karena keramatnya, yaitu: 
22.  SYEKH AKHMAD FARKI ASIR HINDI Qs, yang dimasyhurkan namanya imam Rabbany Muhammadil Hasani dan daripadanya turun kepada anaknya yang tempat kepercayaannya yang menaruh rahasia, yaitu: 
23.  SYEKH MUHAMMAD MAKSUM Qs, dan daripadanya turun kepada anaknya Sultan Aulia: 
24.   SYEKH SYAIFUDDIN Qs, dan daripadanya turun kepada sinar yang gilang gemilang cahayanya, yaitu nyata zat dan sifat, yaitu: 
25.  SAIDI SYEKH MUHAMMAD NUR BILAWANI Qs, dan daripadanya turun kepada Wali yang tinggi pangkat dan keramatnya, yaitu: 
26.  SYEKH SYAMSIR ABDAIN HABIBULLAH JANJANAN AL MATHAR Qs, dan daripadanya turun kepada kepala sekalian Guru-guru dan kepala daripada sekalian Khalifah dan penghulu sekalian Aulia, yaitu: 
27.  SYEKH ABDULLAH DAHLAWI HINDI Qs, dan daripadanya turun kepada anak cucu Saidina Usman Ibnu Affan Ra, ialah Syekh yang masyhur Ahli Thariqat Naqsabandiyah, kepada Gurunya itu maka fanafillah dan baqabillah, kemudian pada suluk lalu menjadi Penghulu khalifah, yaitu: 
28.  SYEKH MAULAN DIAALHAQ WADDIN KURDI BAGDADI Qs, dan daripadanya turun kepada Arif-billah yang benci akan Dunia dan sangat kasih akan zat Allah Ta’ala, ialah kepala sekalian Guru-guru dalam negeri Mekkah, yang masyhur namanya: 
29.  SYEKH ABDULLAH Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian Khalifah, yaitu mempunyai keramat yang nyata: 
30.  SYEKH SULAIMAN QARIMI Qs, dan daripadanya turun kepada menantunya yang alim lagi shalih senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqabillah siang dan malam kepada Tuhan Khaliqul Alam dan nyata dapat kesempurnaan dan kemuliaan, ialah Penghulu sekalian Khalifah dan Ikutan sekalian orang-orang suluk, yaitu mursyid: 
31.  SYEKH SULAIMAN ZUHDI Qs, dan daripadanya turun kepada tempat yang sempurna suci kepada kemuliaan Allah Ta’ala dan menambah ia baginya, yaitu: 
32.  SYEKH MAULANA IBRAHIM Qs, dan daripadanya turun kepada muridnya yang alim lagi shalih, senantiasa tafakkur dan muraqabah siang dan malam dan ikutan sekalian orang yang suluk, yaitu: 
33.  SYEKH MAULANA ABDUL JALIL Qs, dan daripadanya turun kepada muridnya yang menambah ia, Allah Ta’ala akan derajatnya dan kuat melalui jalan kepada Allah Ta’ala, maka melebihkan Allah Ta’ala baginya karunianya, menambah ia selama berkhidmat akan Allah Ta’ala, barang siapa menuntut jalan kepada Allah Ta’ala kepadanya, pada kemudian menegakkan Allah Ta’ala atas orang yang hidup akan menambah yaqin zikir yang bathin dan syah, yang dikenal bagi yang kaya dan mencerdikkan bagi Allah Ta’ala baginya, dan mengambilkan Allah Ta’ala baginya orang yang suluk dengan Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, Ummat Allah Ta’ala dan menyembunyikan akan dia Wali yang pilihan, yaitu Mursyid: 
34.  SYEKH HAJI HARUN Qs, dan daripadanya turun kepada Muridnya yang pilihan yang sangat kasih akan Gurunya, akan Allah Ta’ala dan kuat menjalankan hakikat, dan kuat mengerjakan jalan berkhidmad (adab) dan menjadi ikutan orang yang suluk yang berthariqat, Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, yaitu Mursyid: 
35.  SYEKH AMIR DAMSAR SYARIF ALAM, dan daripadanya turun kepada anak Jasmani dan Ruhaninya, yang mengikut akan ayahandanya dan yang sangat kasih akan Ayahandanya, dan menjadi ikutan orang-orang yang suluk yang ber-Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, yaitu Mursyid:
36.  SYEKH GHAZALI AN NAQSABANDY, atas ijin Allah yang maha suci Subhanallah-Subhanallah-Subhanallah 
D.      ANALISA KELOMPOK 7
Bahwa begitu masyarakat menjadi lebih modern dan terindustrialisasi, fungsi-fungsi social guru sufi dan organisasii mereka akan menurun. Pada pertengahan abad ke-20, banyak analisis yang melukiskan gambaran tentang berkurangnya, dan mungkin lenyapnya, tarekat-tarekat sufi. Namun, berlainan dengan oposisi dan prediksi-prediksi itu, tarekat-tarekat sufi justru semakin kuat secara menajubkan di sebagaian besar dunia Islam serta dalam komunitas muslim tempat mereka menjadi minoritas.
E.       PENERAPAN DALAM MASA SEKARANG
Pada masa sekarang sudah banyak orang yang mengikuti ajaran tarekat tapi yang paling banyak adalah dari kalangan orang-orang desa. Untuk orang kota sangatlah minim responnya untuk ajaran tarekhat.
Kalau untuk diterapkan pada masa sekarang sangatlah baik. Karena agar masyarakat tidak memfikirkan perut dan dunianya saja.
F.       KESIMPULAN
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.\
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.

DAFTAR PUSTAKA

Chodjim, Ahmad. 2007. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan Makna Kehidupan. PT SERAMBI ILMU SEMESTA : Jakarta
id.wikipedia.org/Wahdatul_Wujud.htm. Diakses tanggal 7 Desember 2010
Soleh, Khudori. 2010, www.scribd.com/doc/4219671/Wahdatul-Wujud-Ibn-Arab. diakses tanggal 7 Desember 2010
Hidayat, Atif, 2009. atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/ diakses tanggal 10 Maret 2009
HAMKA, 1993. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka     Panjimas,     Jakarta
mistikus-sufi.blogspot.com/2008/03/abu-yazid-al-bustami.html,
    27 Nopember 2010
http://thoriqohqodiriyyah.blogspot.com/.down load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah.down load. kamis 23 desembaer 2010 07:30
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa%3APencarian&redirs=1&search=AL-ITTIHAD+dalam+tasawuf&fulltext=Search&ns0=1down load. kamis 23 desembaer 2010 07:30

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai akidah bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus